Thursday, June 13, 2013

Sistem Ilmu Pengetahuan Baduy

¨1. Yosef boris
2. Muhammad fiqih zidni
3. Luther hasudungan
4. wilma galuh
5. reninditha M
6. putri yunita
¨Sistem Ilmu Pengetahuan dan Flora & Fauna
¨fauna
¨Dari segi fauna, di desa baduy masih seperti di jakarta seperti anjing, ayam, kucing, dan lain – lain. Tapi di desa baduy ada juga hewan buas ya seperti ular dan harimau
¨Ular di pelihara untuk penangkap tikus di ladang. Waktu dulu harimau itu ada tetapi sekarang sudah tidak ada.
¨
¨
¨Flora
¨Dari segi flora, di daerah baduy banyak sekali tanaman yang tumbuh di daerah itu. Contohnya kacang, padi, timun, pisang
¨
¨Sistem ilmu pengetahuan
¨Di kampung baduy anak kecil nya tidak di sekolah kan. Mereka membantu orang tua ya berladang dan lain – lain.
¨Mereka belajar sendiri untuk mencoba. Contohnya memakai handphone. Karena memang adat istiadat di baduy tidak boleh sekolah
¨
¨
¨
¨Mereka di sana sangat memegang teguh baik peraturan yang diamanatkan dari leluhurnya. Jadi mereka itu sangat melestarikan budaya nya.
¨
¨Wanita di kampung di baduy di jodohkan oleh orang tua nya. Dan disana di larang untuk bersentuhan.
¨Disana anak perempuan yang berumur 2 tahun atau 3 tahun rambut mereka sudah di pangkas. Kalau yang laki – laki di sunat
¨
¨
¨Selain itu di baduy tidak ada sekolah untuk menimba ilmu, mereka belajar ada yang otodidak, maupun di ajar kan oleh orang tua mereka
¨
¨Di suku baduy itu sendiri mereka menggunakan alamnya untuk MCK (Mandi,Cuci dan Kakus) mereka. Dan di rumah mereka tidak ada namanya kamar mandi mereka juga masih menggunakan kayu bayar untuk memasak makanan, dan minum mereka.
¨
¨Mereka (warga baduy) membikin suatu anyaman tangan masih menggunakan alat-alat tradisional
¨
¨Yang kami liat yang ada di baduy jalan mau satu kampung ke kampung lain mereka harus berjalan kaki dan naik-turun bukit sebab di sana jalan masih menggunakan tanah merah dan batu kali dan tidak beraspal, dan mereka kalo menyebrang ke kampung seberang mereka harus melewati jembatan bambu yang seharus tidak layak pakai buat penyebrangan.

¨

Tuesday, June 11, 2013

Baduy dalam Bahasa

WISATA KE KENEKES
Anggita Putri Ulfa, Nisya Tiara Yunita, Rizki Annisa, Trinia Fauziah, dan Wynnona Geary P.





Pada tanggal 2 april lalu tepatnya hari jumat jam 08:00 pagi kami mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta, prodi/jurusan Pariwisata mengadakan perjalanan wisata ke suku Baduy yang terletak di rangkasbitung banten untuk melakukan observasi dan juga sebagai tugas dari dosen. Kami menggunakan alat transportasi tronton milik TNI AD dengan rute Jakarta/Unj – tol kebon jeruk – tanggerang – tol cikupa – tol balaraja – rangkasbitung (banten).

Sesampainya kami di baduy tepatnya di desa ciboleger desa ini adalah tempat terakhir menggunakan mobil dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di desa ciboleger kami melihat warganya mulai dari anak kecil yang berjualan kayu untuk tongkat, sampai laki-laki dewasanya menjadi porter/pembawa barang  sedangkan para wanita dan ibu-ibunya hanya berjualan sembako atau souvenir. Awalnya kami yakin bisa membawa barang bawaan kami sendiri karena belum mengetahui medan yang akan kami tempuh,setelah mengetahui jalan menuju baduy luar itu begitu terjalnya karena menaiki dan menuruni bukit yang licin akibat hujan turun, tetapi belum ada ½ jam sudah kelelahan dan banyak dari kami yang menggunakan jasa porter itu dengan menego harganya dan kami rata-rata membayar Rp.10.000/tas.


Di sepanjang perjalanan kami menemui binatang dan tanaman yang jarang kami temui di Jakarta seperti lipan,pakis dan bungan kembang sepatu bewarna putih bercampur corak merah lalu kami juga bertemu dengan warga baduy sering kali yang terlihat adalah warga baduy luar tetapi ada juga yang berasal dari baduy dalam. Perbedaan mendasar antara baduy dalam dan baduy luar ialah dari pakaiannya dan letak wilayahnya, baduy luar menggunakan pagaian serba hitam-hitam dengan pengikat kepala berwarna biru dengan corak batik letak wilayahnya dari desa ciboleger – kampung kaduketuk – kampung Marengo – kampung gajeboh dan kampong cipaler. Sedangkan baduy dalam menggunakan baju berwarna serba putih-putih dan memakai ikat kepala putih juga letak wilayah baduy dalam Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.

Baduy dalam memiliki sistem adat yang sangat ketat dibandingkan dengan sistem adat di baduy luar misalnya saja barang-barang elektronik di larang bagi warga baduy dalam sedangakan baduy luar menerima moderenisasi yang berkembang. Di perjalanan kami melewati anak sungai 2 kali dan 1 perkampungan lalu kami sampai di kampung Marengo yaitu tempat untuk kami menginap. Sesampainya di kampong Marengo kami melihat perkampungan yang sangat sederhana dan tertata rapih serta bersih lingkungan yang kelilingi oleh pohon dan sumber kehidupan bagi masyarakat baduy yaitu sungai yang menlitasi sepanjang perkampungan suku baduy, iklim yang sejuk karena diapit oleh gunung dan bukit-bukit sepanjang mata memandang.
Setelah sampai kami pun bergegas masuk kerumah warga/ home stay untuk numpang menginap selama 3 hari 2 malam, melepas lelah kami pun duduk santai di atas serambi teras rumah suku baduy luar dan memerhatikan dengan seksama bangunan rumahnya. Rumah mereka berbentuk semi panggung walaupun tidak sama denga rumah panggu yang terdapat diwilayah sumatera. Mereka memilih bahan bangunan untuk rumah mereka yang berasal dari alam cecuali paku , mulai dari dinding dan alasnya berbahan dasar bambu yang di satukan atau di anyam lalu tiang-tiangnya atau pondasi mereka memilih memakai kayu pohon disekitar tanah mereka dan atapnya terbuat dari daun kelapa yang dianyam sehingga membetuk sebuah atap, rata-rata satu rumah berisi 5 orang yang terdiri dari bapak,ibu dan 3 orang anak pemilik rumah menyediakan tempat untuk kami beristirahat dan meletakan barang-barang kami.



Setelah merapihkan barang bawaan kami pun mencoba mandi disungai dan agak sedikit canggung dan bingung bangaimana caranya mandi di sungai seperti itu lalu kami memerhatiakan yang lainnya dan mengikutinya. Karena di daerah ini tidak ada fasiitas kamar mandi jadi seluruh aktifitas yang menggunakan air akan diambil atau digunakan sungai ini seperti mandi,mencuci,buang air besar/kecil dan menyiram tanaman. Malam pun tiba dan suasana semakin dingin,sunyi dan sepi serta gelap gulita karena di suku baduy tidak terdapat lampu penerangan mereka hanya mengandalkan lampu petromak dan senter kecil yang didapat di desa ciboleger. Dirumah itu terdapat beberapa bagian yaitu teras,ruang tamu,kamar tamu , kamar utama, dan dapur . dapur memiliki lahan yang cukup luas dibandingkan dengan ruang tamu ataupun kamarnya. Suku baduy sangat bergantung kepada alamnya karena itu mereka mendapatkan penghasilan atau uang dari berjualan hasil kebun mereka mulai dari pisang,padi,madudan tanaman kacang-kacangan lainnya serta mereka juga menjual kain yang sudah ditenun sendiri oleh masyarakat baduy dengan berbagai corak warna bahan yang didapat untuk menenun kain iyalah berasal dari desa ciboleger atau dari kota. Anak-anak mereka sedari kecil sudah membantu kedua orang tuanya
Bentuk bangunan rumah Baduy

 Sudah larut malam kami pun masih bercengkrama dengan teman-teman lainya tetapi pemilik rumah memanggil untuk masuk dan segera tidur agar tidak berisik dan menggagu tetangga lainnya, kami pun masuk dan bersiap untuk tidur dengan beralaskan sebuah tikar tipis dan bantal seadanya badan pun terasa sakit dan hawa dingin menusuk dari sela-sela bambu tetapi hawa ngantuk dan letih mengalahkan rasa sakit itu. Keesokan paginya kami bergegas untuk mengobservasi baduy luar sampai batas wilayah baduy dalam dan kampong tujuan kami adalah kampung cipaler, perjalanan kekampung cipaler sangat melelahkan dan 2 kali lipat lebih terjal dan licin serta jauh dibandingkan keberangkatan dari desa ciboleger menuju kampong Marengo. Melewati beberapa kampong dan 2 anak sungai lalu 1 jembatan sungai besar yang terbuat dari bambu, sepanjang perjalanan kami melihat hamparan lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam yang utamanya adalah padi mereka menanamnya diatas perbukitan yang kemiringannya hampir 80 derajat.Setelah dipanen padi dijemur agar kering tetapi tidak langsung di masak melainkan disimpan di tempat yang bernama “Leuit” atau lumbung padi untuk mempersiapkan bahan pokok nantinya bagi mereka.Mereka memasak dengan sangat sederhana hanya dengan menggunakan kayu bakar yang diambil dari hutan dan tungku sebagai penyangganya.

Sesampainya di kampung cipaler kami melihat tidak banyak berubah atau berda dengan yang ada dikampung Marengo,disana masyarakatnya lebih tertutup dan sama sekali tidak menegrti bahasa Indonesia kalau pun ingin bertanya harus dicampur dengan bahasa sunda dan baru mereka mengerti . sebenarnya mereka mengerti bahasa Indonesia atau mereka tahu apa yang kita ucapkan tetapi mereka tidak bisa membalas dengan bahasa Indonesia melainkan dengan bahasa sunda saja dan sifat mereka sangat pemalu dan tertutup , misalkan seorang ibu0ibu atau anak gadisnya sedang menenun dan kami ingin meminta fotonya tetapi mereka tidak memerbolehkannya begitu juga dengan anak-anak kecilnya hanya bisa tersenyum dan langsung masuk ke dalam rumah.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk kembali lagi ke Jakarta. Setelah kami sarapan kami bergegas pamit kepada yang punya rumah dan penduduk sekitar. Perjalanan pulang yang kami lewat sama dengan perjalan pergi, tapi kami berhenti dahulu di rest area untuk makan dan minum.


v  BAHASA
Dalam observasi kami, kami lebih fokus meneliti dan mengamati terhadap bahasanya yang kami lakukan adalah dengan mendekati dan mengajak mengobrol dengan orang-orang 2 kampung yang berbeda yaitu di kampong Marengo dan kampong cipaler, seperti berikut :
Pertanyaan:
1.      Bahasa yang di pakai oleh suku Baduy?
Jawab: Sunda Kasar dan Bahasa Indonesia, tapi tidak semua masyarakat bisa berbahasa Indonesia. Hanya orang-orang yang sering berinteraksi  dengan wisatawan yang bisa bahasa Indonesia. Di kampung Cipaler hampir semuanya tidak bisa bahasa Indonesia karena kampung tersebut agak jauh dari hirup pikuk wisatawan yang datang dan hampir dekat juga dengan Baduy dalam.   Contoh  saya dalam bahasa Sunda di Baduy adalah aing.
2.      Bahasa tulisan yang mereka gunakan?
Jawab: tulisan yang di tulis memakai bahasa Indonesia. mereka mempelajari tulisan itu melalui otodidak dari orang tua nya. Mengapa otodidak? Karena mereka tidak di perbolehkan sekolah.
3.      Bahasa tubuh yang mereka gunakan?
a.       Bila menjawab iya, gerak tubuh apa yang digerakan? Jawab: menganggukan kepala
b.      Bila menjawab tidak, gerak tubuh apa yang di gerakan? Jawab: menggelengkan kepala
Jawab: salah satu bahasa tubuh yang mereka gunakan yang pernah kami lihat yaitu ada seorang anak laki-laki menyuruh saudaranya mencuci piring dengan menggerakan kedua tangannya mengusap ke mukanya lalu menujuk kea rah ember yang berisi air.
4.      Juru bicara jika ada masalah?
Jawab: juru bicara jika ada masalah antar rumah atau tetangga, mereka langsung membicarakan nya oleh orang yang bersangkutan. Bila masalahnya besar langsung dibawa ke RT/jaro untuk di musyahwarakan.
5.      Obrolan yang sering mereka bicarakan jika sedang bertemu?
Jawab:  sering mereka bicarakan tentang kesehariannya seperti hasil panen yang mereka jual ke ciboleger.


 

Ini tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler. Ini tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler, dan terbukti bahwa di baduy jarang seklai yang bisa menulis dikarenakan warganya tidak ada yang bersekolah. Mereka dari kecil hanya diajarkan oleh kedua orang tua mereka cara bercocok tanam,membuat kain,dan membantu kedua orang tuanya. Bagi masyarakat baduy pendidikan formal itu berlawanan dengan adat mereka dan pemerintah pun ditolak untuk membangun sebuah sekolahan di daerah suku baduy.
v  Kesimpulan


Dari banyaknya pertanyaan diatas kami menyimpulkan bahwa suku Baduy dalam bahasa mereka masih banyak yang tidak bisa bahasa Indonesia. Kebanyakan mereka hanya bisa berbahasa Sunda tetapi bila kita berbahasa Indonesia mereka masih bisa mengerti. Salah satu contoh Homestay yang kami menginap ibu dari sebuah keluarga yang mempunyai homestay tersebut tidak bisa sama sekali bahasa Indonesia, tapi ibu tersebut mengerti apa yang kami tanyakan padanya dengan menggunakan bahasa Indonesia. tidak ibunya saja yang tidak mengerti bahasa Indonesia beberapa anaknya tidak mengerti  yang kita bicarakan , maka dari itu untuk mengerti berbahasa Indonesia dengan cara membeli belanjaan atau menjual hasil panen mereka hasilkan ke ciboleger, tidak dengan cara membeli dan menjual  saja mereka  dengan cara melihat dan mendengar wisatawanan yang ajak bicara . lalu dari situlah mereka pelan-pelan mengerti bahasa Indonesia.

Saturday, June 8, 2013

tekhnologi dan psikologis suku baduy




Observasi Suku Baduy
Semester 098
KELOMPOK 4
Anisa Wahyu Utami
Adinda Yuliana Putri
Eka Junianti Widiawati
Lingga Diamanti D
Kiagus Fhirly L
Reza Arafat
Raden Pramuduto H

Jurusan Sejarah
Program Studi D3 Usaha Jasa Pariwisata 2012
Universitas Negeri Jakarta

                                            SUKU BADUY, BANTEN JAWA BARAT

Tanggal : 5-7 April, 2013

Baduy adalah suku yang berasal dari Banten, Jawa Barat. Baduy ini terbagi menjadi 2, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Semester 2 ini kami menempuh mata kuliah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia. Dan Suku Baduy ini lah yang kami pilih.
         Pkl 16.00 WIB kami sampai di Baduy Luar, tepat nya di Desa Marengo. Di sebelah barat desa ini berbatasan dengan sungai Ciujung, di sebelah timur desa ini berbatasan dengan Kadu Ketuk, disebelah selatan desa ini berbatasan dengan Desa Gajeboh, dan disebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Balimbing. Sesampainya disana kami menempati rumah warga yang biasa kami menyebutnya homestay. Pada saat kami menempati rumah ini, kebetulan sang pemilik rumah sedang ke ladang. Rumah ini kokoh dengan bertembokan bambu.
            Menjelang maghrib, sang pemilik rumah datang. Kami seketika bingung harus bagaimana. Yang kami lakukan hanya member salam kepada pemilik rumah. Pak daisan namanya. Rumah ini berada di depan sungai Ciujung, yang jika sore kami memanfaatkan sungai ini untuk mandi. Begitupun penduduk disini menggunakannya sebagai kehidupan sehari-hari ( McK). Di depan rumah kami, terdapat ‘krangkeng’ begitu warga baduy menyebutnya. Krangkeng ini adalah sebuat tempat untuk menyimpan kayu bakar sebagai persedian di dapur mereka. 
            Rumah ini sangat sederhana. tidak ada bangku, meja ataupun tempat tidur pada umumnya. Didalam rumah ini memiliki banyak ruang. Disebelah barat, rumah ini memiliki ruangan yang digunakan untuk  meletakkan barang barang untuk bertani. Seperti cangkul, golok, ataupun arit. Disebelah timur terdapat kamar dan sebuah dapur yang hanya beberapa kami masuk ke ruangan itu. Disebelah selatan adalah pintu masuk. Dan disebelah utara terdapat tempelan foto yang tidak berbingkai. Di dalam rumah ini terdapat Suami, Isteri, dan 2 orang anak. Kami senang berkenalan dengan mereka. Dan inilah catatan hari pertama kami di Baduy…
          
          Hari kedua pagi kami sarapan. Setelah sarapan kami tracking menuju desa Desa Cipaler. Kami menuju Desa Cipaler dengan waktu 1,5 jam. Di Desa Cipaler kira-kira terdapat 70 rumah warga. Di Desa Cipaler, kami memulai observasi kami dengan memulai berkomunikasi dengan masyarakat sana. Lalu kami berkenalan dengan Pak Sarda salah satu warga Desa Cipaler. Yang bertempat tinggal dengan 1 orang istri dan 2 orang anak. Di rumah tersebut terdapat 2 kamar yang biasanya di depan rumah warga-warga Desa Cipaler terdapat wadah untuk hasil panen seperti, pare terong dan sebagainya. Pak sarda ini memiliki ladang pare yang tidak untuk diperjual belikan karena pare ini sangat jarang ditemukan bila ingin dijual hanya kepada tetangga tidak diperjual belikan untuk orang luar. 1 pare berharga Rp. 50. Di depan rumah Pak Sarda juga terdapat jengjeng atau kayu yang digunakan untuk penopang rumah warga Baduy.
Hari ketiga kami di baduy sekitar pukul 07.00  pagi kami segera membersihkan diri dan bersiap-siap merapihkan barang bawaan kami untuk segera pulang kembali ke Jakarta.Ketika kami ingin pulang dan kami pun berpamitan pada seorang ibu dan anak-anaknya,ketika itu kami membersihkan sampah-sampah yang ada sebelum kami  berpamitan pulang.  

Kebiasaan-kebiasaan yang ada di Desa Cipaler yaitu ada pemikul padi dari Desa Ciboleger, jikalau kalian memperhatikan tangan-tangan warga Baduy menggunakan gelang yang terbuat dari kain yang berwarna putih, kain tersebut bernama “UBAR”. Kebiasaan yang lainnya yang ada di Desa Cipaler yaitu, setiap sebulan sekali ada perkumpulan dengan Kokolot atau sesepuh  untuk membicarakan tentang kondisi Baduy. Kebiasaan untuk wanita nya biasanya menenun di depan teras rumah mereka. Tenun tersebut juga menjadi mata percaharian warga Baduy. 1 kain tenun tersebut bila dijual kira kira memiliki kisaran harga Rp. 100.000 dengan jangka membuat kain tenun selama 1 bulan.
Selain itu mereka penduduk lokal juga sering membuat kerajinan tangan seperti gantungan, gelang, kalung, ataupun cinderamata lainnya yang dijual kepada wisatawan yang datang.  Setelah kami melakukan oservasi di desa cipaler lalu kami kembali ke desa yang kami inapi, di desa Marengo. Pada sore hari kita bertemu wakil kepal desa yaitu jaro yang bernama Pak Sarrman yang menjelaskan tentang seluk beluk desa ini, dengan adat istiadatnya, kepribadian warga yang ada di baduy ini, informasi yang kami dapat dari pak sarrman yaitu: penduduk desa kampung Marengo sebanyak 200 warga yang bermukim di desa ini, warga sekitar yang mebutuhkan rumah tinggal biasanya melakukan gotong royong dan melakukan upacara adat dan biasanya warga di desa desa lain nya pekerja nya ada yang meminta bayaran dan ada juga yang sukarela. 

Di desa ini tidak sembarangan untuk membangun rumah. Dikarenakan menurut istiadat mereka seperti itu. Sekalinya pun ada tanah kosong, dan ada warga yang ingin membangun rumah harus di terawang dulu oleh paranormal, kebiasan itu yang mereka lakukan untuk membangun rumah.
Teknologi disini masih menggunakan alat tradisional. Mereka yang bertani, mereka yang ke ladang masih menggunakan alat tradisional seperti golok, cangkul, arit, dan sebagainya. Alat transportasinya pun mereka membangunnya bukan dengan aspal, tetapi menggunakan bambu. Yang mereka lakukan secara gotong royong. Dalam mata pencaharian mereka pun mereka masih menggunakan alat-alat tradisional, contohnya: pada saat mereka mencari ikan disungai mereka masih menggunakan alat tradisional seperti jaring.

Di Baduy pun tidak menggunakan listrik. Mengapa ? Karena masyarakat Baduy masih mempertahankan, menjaga, adat mereka. Saat kami berkunjung ke Baduy Luar, pada bulan ini Baduy Dalam sedang mengadakan upacara adat selama 3 bulan berturut turut, sehingga tidak boleh ada orang asing yang menuju kesana.  Upacara ini adalah upacara yang bermaksud mengucapkan terima kasih kepada sang pencipta, dan sesaji yang mereka berikan kepada alam yang dia tempati ini. Contoh upacara yang di anut oleh suku baduy ini yaitu tidak boleh membeli ikan yang ada di pasar dan warga baduy sendiri harus mencari dari alam yang tuhan berikan kapada suku ini di suku ini juga mempuyai acara-acara kuhus di bulan bulan tertentu.


Tuesday, May 21, 2013

GEOGRAFI DAN KESENIAN DI KAMPUNG MARENGO, BADUY



GEOGRAFI DAN KESENIAN DI KAMPUNG MARENGO, BADUY



Kampung Baduy, terutama kampung Marengo merupakan salah satu perkampungan yang terletak di Kota Banten, Jawa Barat. Kampung Marengo, Baduy adalah salah satu bagian dari etnik nusantara. Asal nama Baduy itu sendiri sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh warga Negara Belanda. Bahasa yang sering mereka gunakan dalam sehari-hari adalah bahasa Sunda. Masyarakat yang tinggal di kampung Marengo, Baduy merupakan masyarakat asli dari Baduy, tidak ada campur tangan dari orang luar. pada tanggal 5-7 April kami berkesempatan untuk melakukan sebuah observasi di kampung Marengo, Baduy. Perjalanan untuk menuju kampung Marengo tersebut memakan waktu yang cukup lama. Kami harus melewati kota Rangkasbitung, dan kemudian menuju desa Ciboleger sebelum akhirnya kami tiba dan menginap di kampung Marengo. Ketika kami tiba di desa Ciboleger, disini kami melihat adanya aktifitas modernisasi, di desa ini kita bisa melihat adanya sebuah supermarket, rental playstation, sekolahan, perpustakaan dan apapun yang seing kita lihat di kota besar. Dari desa Ciboleger ini kita harus naik menuju kampung kadeketuk sebelum akhirnya kami semua tiba di kampung Marengo. Karena medan perjalanan untuk menuju kampung Marengo itu sangat sulit dan licin kami membeli sebuah tongkat yang di jual oleh anak-anak sekitar, yang dimana tongkat tersebut digunakan untuk membantu kami semua yang akan naik ke atas menuju kampung-kampung yang ada di  Baduy.
Setelah kami membeli tongkat sebagai alat bantu, kami langsung menuju kekampung Marengo. Untuk sampai ke kampung Marengo, kami harus melewati beberapa bukit yang jalannya begitu licin dikarenakan bekas tujun hujan. Selama di perjalanan menuju kampung Marengo, ada beberapa warga yang menawarkan jasanya untuk membawakan tas-tas kami sampai kekampung Marengo. Penawaran jasa tersebut juga merupakan suatu aktifivas perdagangan yang berada di kampung Baduy. Akan tetapi, setelah kami menyelidikinya ternyata orang-orang yang bekerja menawarkan jasa tersebut bukanlah warga asli dari Baduy, mereka adalah warga yang datang untuk mencari rezeki dengan cara memanfaatkan kedatangan wisatawan, untuk membantu wisatawan membawakan tas-tas mereka sampai ke kampung tujuannya. Perjalanan kami lalui tidaklah mudah, selain licin jalanan ini juga sangat terjal dan banyak bebatuan. Akibatnya, banyak diantara kami yang mengalami jatuh ketika naik atau turun melewati bukit tersebut. Sekitar 2 jam kami menempuh perjalanan ini, dan akhirnya kami sampai di kampung Marengo.
Di kampung Marengo jumlah penduduk yang tinggal kurang lebih sekitar 200 penduduk. Asal muasal adanya kampung Marengo sendiri adalah pecahan dari kampung Gazebo. Setelah tiba di kampung Marengo kemudian kami menuju rumah penduduk untuk tinggal selama 3 hari. Uniknya rumah tersebut terbuat dari bambu-bambu dan daun-daunan kering yang dibentuk seperti rumah panggung. Akan tetapi pemilik dari rumah yang akan kami singgahi tidak sedang ada di rumah. Keluarga pemilik rumah sedang berada di ladang. Sehingga, kami meninggalkan tas dan barang bawaan kami di teras rumah. Lalu kami bersiap-siap untuk mandi. Seperti warga desa Marengo, kami mandi di sungai dengan sehelai kain untuk menutupi kami mandi. Alam terbuka membuat kami merasakan suasana baru ketika berada di sungai yang melewati kampung Marengo. Dengan malu-malu kami mandi secara bersama-sama di sungai. Duduk diantara bebatuan.
Setelah selesai kami mandi, ternyata pemilik rumah sudah pulang. Segeralah kami memasuki rumah yang terbuat dari pepohonan, dengan lantai dari bambu-bambu dan atap yang terbuat dari dedaunan kering. Kami berkenalan dengan pemilik rumah tersebut. Bapak Amin namanya beliau adalah kepala keluarga di rumah ini. Beliau tinggal di rumah ini hanya bertiga, yaitu Bapak Amin, istri dan anak laki-lakinya. Hal yang paling terasa suasananya ketika kami melihat handphone kami yang ternyata tidak bersignal. Hal tersebut membuat kami merasakan kehidupan warga desa Marengo setiap harinya.
Malam pun tiba. Suasana menjadi semakin asing ketika kami harus berhadapan dengan kemalaman tanpa lampu penerangan. Akhirnya kami pun memanfaatkan lampu senter yang kami bawa. Seisi rumah pak Amin pun terlihat sangat remang-remang. Bentuk rumah pak Amin cukup luas. Dengan 1 buah ruang tamu, ruang penyimpanan hasil panen, 1 ruang tidur yang bersampingan dengan dapur di belakang. Ruang tamu pun menjadi tempat tidur kami, dengan beralaskan potongan bambu yang disusun renggang.
Keesokan harinya kami bergegas mandi lagi di sungai dan lalu bersiap-siap untuk naik lagi ke atas menuju desa Cipaler, desa yang merupakan perbatasan antara baduy luar dan baduy dalam. Dalam perjalanan menuju desa Cipaler kami menemukan beberapa tanaman-tanaman yang merupakan hasil kerja warga baduy. Kami menemukan pohon pisang yang memang pada saat itu sedang panen. Kemudian pohon rambutan, pohon kokosan yang buahnya mirip sekali dengan buah duku, pohon kopi, padi, dan yang tidak asing adalah pohon bambu. Selain tanaman yang kami temukan, kami juga menemukan fauna yang berada di baduy. Fauna di baduy tidak asing lagi, yaitu ada ayam, kucing, ulat bulu, ulat kaki seribu, burung, kupu-kupu dan lebah.
Ketika kami menyusuri jalan menuju desa Cipaler kami melewati beberapa desa. Kami melihat banyak warga baduy khususnya wanita yang sedang menenun kain. Memang kehidupan warga di sini, mereka merajut sendiri kain yang akan mereka gunakan. Sejak dini mungkin anak-anak perempuannya sudah diajarkan menenun kain untuk mereka gunakan. Setelah itu kami melewati hutan yang kemudian kami menemukan beberapa tumpukan batang-batang pohon yang telah di tebang. Kemudian kami bertanya kepada penduduk setempat, untuk apa batang-batang pohon tersebut. Ternyata batang-batang pohon yang ditebang tersebut mereka gunakan untuk menjadi bahan bakar memasak. Akan tetapi setelah kita mengetahuinya, batang-batang pohon tersebut bukanlah warga asli baduy yang menebangnya, melainkan orang dari luar baduy yang memang sengaja mereka tebang untuk kebutuhan mereka.
Lalu kami menyeberangi sungai dengan menggunakan jembatan yang terbuat dari potongan bambu-bambu yang diikat-ikat menjadi sebuah jembatan ketika kami melintasi jembatan tersebut akan terasa goyang. Jembatan tersebut benar-benar berdiri di atas sungai yang mengalir deras membuat kami harus berhati-hati melewtinya agar tidak jatuh ke sungai. Lalu kami melintasi sebuah bangunan yang unik. Yang awalnya kami kira adalah sebuah kandang. Ternyata bangunan seperti rumah kecil tersebut adalah tempat penyimpanan padi yang telah panen yang mereka sebut adalah “Leuit”. Dan kami juga menemukan padi-padi yang telah panen digantung dan dijemur.
Sesampainya di desa Cipaler yang menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 3 jam. Kami beristirahat disalah satu rumah warga desa Cipaler sebelum kami memulai aktifitas lainnya. Setelah cukup merasa segar kembali, kami pun segera mengunjungi salah satu rumah yang berada di desa Cipaler. Rumah yang kami kunjungi adalah rumah Bapak Daris. Pak Dari tinggal di rumah tersebut dengan istri dan kedua anaknya, yang satu laki-laki dan satu perempuan. Ketika kami masuk ke rumah pak Daris yang terdiri dari satu ruang tamu, ruang kamar dan dapur, kami melihat ada yang unik di dalam rumah pak Daris. Ada beberapa botol yang membuat kami penasaran apa isi dari botol tersebut. Ternyata itu adalah sebuah madu asli yang mereka ambil langsung dari sarang lebah. Lalu di belakang kami ada sebuah tumpukan karung yang isinya merupakan padi yang telah panen yang akan mereka tumbuk dan mereka konsumsi sendiri. Kemudian kami melihat sebuah benda yang terbuat dari kayu yang berbenutuk roda dan ternyata itu adalah alat untuk membuat sebuah kerajinan tangan seperti kalung dan gelang.

Setelah kami berkenalan dan melihat-lihat isi rumah, kamipun memberanikan diri untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan kepada bapak Daris. Salah satu yang kami pertanyakan adalah mengenai geografis yang terjadi di daerah kampung Baduy. Kami menanyakan apakah di daerah Baduy sering terjadi bencana alam, misalnya seperti tanah longsor, banjir bandang dan fenomenal alam lainnya. Dan pak Daris pun menjawab bahwa akhir-akhir ini didaerah kampung Baduy sering terjadi tanah longsor dikarenakan oleh musim penghujan yang saat ini sedang terjadi di daerah kampung Baduy. Pertanyaan kedua yang kami tanyakan adalah mengenenai kesenian khas yang ada di suku baduy, lalu kemudian pak Daris pun menjawab kesenian angklung dan tanjakan keromong. Beliau berkata setiaptahun pada pembukaan tanam padi atau nanam pare selalu menampilkan pentas kesenian angklung. Bapak Darispun juga menjelaskan pakain adat yang di kenakan oleh orang baduy, yang terdiri dari hideng, iket, lomar (kain ikat kepala). Kami juga sempat menanyakan mengenai upacara adat yang sering dilakukan oleh penduduk-penduduk Baduy, dan pak Darispun menjawab dengan ramah kalau di baduy sering diaadakan upacara nanem pare, kawinan, sunatan, selamatan untuk seorang ibu yang telah melahirkan anaknya dengan selamat. Tetapi selama masa kehamilan tidak ada upacara empat bulanan maupun nujuh bulanan. Pertanyaan terakhir kami yang membuat kami bertanya-tanya adalah, mengapa anak-anak baduy tidak bersekolah, dan bapak Daris menjawab dengan logat sundanya karena sesuai peraturan adat bahwa anak-anak di kampung baduy ini di larang bersekolah seperti pepatah mengatakan “lajor ulah dipante, pondok ulah disambung” yang artinya “kalau panjang jangan dipotong, kalau pendek jangan disambung. Yang maksudnya adalah mereka semua harus hidup dengan apa adanya tanpa harus di ubah ataupun dilebih-lebihkan.
(foto kami bersama bapak Daris sebagai narasumber kami)                 

Setelah kami bertanya-tanya dengan pak Daris yang merupakan warga desa Cipaler, kami pun segera kembali ke desa Marengo. Ketika turun kami tidak melewati jalan yang kami tempuh ketika kami menuju desa Cipaler. Perjalanan pulang kami sering melewati rumah-rumah penduduk yang jalanannya terbuat dari bebatuan. Lalu kami pun melewati jembatan yang terbuat dari bambu lagi, dan kami juga melewati beberapa leuit lagi, sampai akhirnya kami tiba di desa Marengo. Perjalanan pulang yang kami tempuh sekitar 3 jam.
Sore harinya, kami berkumpul dengan wakil jaro di desa Marengo yaitu Bapak Sarman. Kami bertanya-tanya sekitar baduy. Ternyata letak geografis kampong baduy sebelah selatan ada desa Balimbing, sebelah timur desa Gajeboh, sebelah utara desa Wetan, dan sebelah barat desa Sikunyah. Ternyata hampir semua tanah yang mereka gunakan untuk ladang merupakan bekas kuburan warga baduy yang meninggal. Tanah bekas kuburan tersebut untuk warga baduy sendiri diperbolehkan dibuat ladang tetapi tidak boleh untuk dibangun sebuah rumah. Kehidupan pekerjaan orang-orang baduy adalah bertani. Mereka menggunakan parang yang memang biasanya digunakan oleh para petani. Tanaman yang mereka tanam yaitu padi, jahe, pisang, kopi, rambutan, kokosan, dan sakojah, yang kemudian biasanya hasil panen tersebut mereka jual atau bisa mereka konsumsikan sendiri untuk kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, biasanya orang baduy hanya menggunakan ladang tersebut selama 3 tahun, setelah 3 tahun ladang tersebut dibiarkan dan kemudian berubah menjadi hutan.
Untuk anak-anak yang tinggal di baduy, mereka tidak bersekolah secara formal. Mereka bersekolah dengan keluarga mereka sendiri seperti mereka bertani dan menenun. Untuk hal baca dan tulis hanya sebagian warga baduy saja yang bisa. Hal tersebut mungkin karena sudah turun temurun dari keluarganya. Daya tangkap mereka lebih cepat menangkap gambar dan gerak dari pada tulisan. Penduduk baduy sudah terbiasa untuk tinggal tidak menggunakan listrik. Ketika malah hari mereka akan menggunakan lampu pijar untuk menerangkan rumah mereka dan untuk mereka berjalan pada malam hari. Mereka memang dengan sengaja menghindari adanya listrik di lingkungan mereka, karena mereka beranggapan dengan adanya listrik membuat hilangnya kebudayaan daerah baduy dan hilangnya kearifan lokal yang sudah mereka tanam bertahun-tahun. Jadi memang mereka lebih mementingkan budaya tradisional yang memang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Selain itu, karakter alam juga yang telah membuat mereka seperti ini. Kehidupan penduduk baduy selain bertani dan menenun, kegiatan yang memang sudah menjadi kebiasaan mereka adalah bergotong royong. Ketika ada yang ingin membangun rumah baru, maka dengan sigap mereka akan membantu pembangunan tersebut dengan sukarela. Orang-orang baduy merupakan tipe orang pekerja, mereka lebih banyak bekerja dari pada berbicara. Etika terbentuk karena kebudayaan yang sudah ada.
Banyak yang mengira bahwa baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, ternyata baduy menganut kepercayaan Selam Wiwitan. Di baduy sendiri biasanya ketika ada acara-acara tertentu dilarang ada orang asing atau orang yang berada di luar baduy masuk ke dalam baduy. Karena memang sangat pribadi. Untuk acara-acara seperti sunatan, biasanya untuk makan-makanan mereka menghidangkan ikan, dan ikan tersebut harus merka ambil langsung dari sungai bukan ikan yang biasanya dibeli lalu hanya tinggal dimasak saja. Kemudian dalam acara tersebut ada kegiatan dimana keluarga sang anak yang akan disunat harus meneteskan air ke mata anak tersebut yang kemudian mereka sebut dengan “merehan”. Orang yang melakukan sunatan tersebut adalah bengkong. Pada acara keagamaan untuk orang-orang yang belum disunat dilarang melakukan ritual, karena mereka menganggap bahwa itu belum sempurna. Biasanya sunatan di sini dilakukan missal kurang lebih 15 orang dalam setiap sunatan. Adapun acara sunatan untuk anak perempuan disebut peperan.
Selain itu, untuk acara perkawinan biasanya orang-orang baduy ada yang dijodohkan dan ada juga yang memang keinginan dari kedua belah pihak. Sebelum acara pelamaran biasanya calon pelamar menyimpan sirih selama 3 hari 3 malam dan kemudian dibuka ketika akan melamar lalu di makan. Acara lamarannya pun terdiri dari makan-makan, tata cara, adat istiadat, lalu makan sirih yang telah disimpan. Setelah itu diadakan pertemuan orang tua dari kedua belah pihak. Lalu orang tua kedua belah pihak mendatangi paranormal (tangkesan) untuk menentukan waktu yang tepat mereka akan menikah. Kemudian pada acara pernikahan sebelum penghulu (Cikagagirang) datang, mereka membaca syahadat. Untuk kepercayaan pada ibu-ibu yang sedang hamil, biasanya pada kehamilan 1 bulan mereka membuatkan gelang yang terbuat dari kafan yang mereka sebut dengan “kanteh” yang kemudian gelang tersebut diberi mantra, hal itu mereka lakukan untuk keselamatan ibu dan anak yang sedang dikandung. Ketika kehamilan menginjak 7 bulan, mereka membuat kendit (seperti ikat pinggang) yang mereka pakai di pinggang. Ketika anak tersebut lahir, mereka langsung memberikan tetesan yang memang sudah menjadi tradisi di baduy selama 1 tahun. Hukum perceraian di baduy sendiri sebenarnya tidak diperbolehkan. Ketika sebuah keluarga ingin bercerai, maka mereka akan disidang dan dibicarakan terlebih dahulu agar tidak terjadinya sebuah perceraian.
Mengapa adanya pengelompokan baduy dalam dan baduy luar ? Sebenarnya, pada tahun 1570 hanya ada satu perkampungan baduy. Seiring dengan pertumbuhan yang ada, lalu terbagi menjadi 3 perkampungan yaitu Cibeo, Ciketawarna dan Cikeusik. Adanya sebutan untuk baduy luar dikarenakan banyak penduduk asli baduy yang melanggar-melanggar aturan. Mereka yang melanggar aturan biasanya diasingkan selama 40 hari disebuah tempat pengasingan di desa Cibeo. Selama mereka diasingkan mereka tidak boleh dilihat oleh siapapun dan tidak boleh disentuh. Karena banyaknya aturan-aturan maka ada beberapa warga baduy yang keluar dari 3 desa tersebut dan kemudian membentuk desa sendiri, dan mereka menyebutnya baduy luar.
Acara agama resmi orang baduy adalah kawalu. Biasanya ketika kawalu, orang-orang yang bukan warga baduy dilarang masuk ke 3 desa di baduy dalam. Di baduy ada istilah Jaro dan Puun. Jaro sendiri adalah orang yang dipertimbangkan dan dipilih karena memiliki kemampuan lebih dari pada warga lainnya. Sedangkan Puun sendiri merupakan turun temurun dari keluarga. Jadi tidak sembarang orang yang menjadi puun. Warga baduy mempercayai 3 keyakinan yaitu Adam, Muhammad dan Pancasila. Yang membedakan baduy dalam dan baduy luar bisa diihat dari pakaian yang mereka gunakan. Untuk baduy dalam sendiri mereka menggunakan pakaian serba putih dengan ciri khas ikat kepala berwarna putih dan membawa golok. Sedangkan untuk baduy luar mereka menggunakan pakaian berwarna hitam dan menggunakan ikat kepala berwarna biru hitam. Mata uang di baduy adalah emas. Jadi emas itu adalah sebagai standar infestasi mereka.
Itulah hasil dari tanya jawab kami pada Pak Sarman sebagai wakil Jaro. Keesokannya kami pulang melewati jalur yang sama ketika kami menuju desa Marengo. Begitulah hasil survey kami selama 3 hari 2 malam di kampung Baduy desa Marengo pada tanggal 5-7 April 2013.



Nama Kelompok :
  • Anisa Dwi Habsari
  • Nawang Saputi Tandayu
  • Nuansa Rivaldi
  • Nurul Yuliana
  • Okke Dwi Putri
  • Putri Ayu Fitriyani