Tuesday, June 11, 2013

Baduy dalam Bahasa

WISATA KE KENEKES
Anggita Putri Ulfa, Nisya Tiara Yunita, Rizki Annisa, Trinia Fauziah, dan Wynnona Geary P.





Pada tanggal 2 april lalu tepatnya hari jumat jam 08:00 pagi kami mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta, prodi/jurusan Pariwisata mengadakan perjalanan wisata ke suku Baduy yang terletak di rangkasbitung banten untuk melakukan observasi dan juga sebagai tugas dari dosen. Kami menggunakan alat transportasi tronton milik TNI AD dengan rute Jakarta/Unj – tol kebon jeruk – tanggerang – tol cikupa – tol balaraja – rangkasbitung (banten).

Sesampainya kami di baduy tepatnya di desa ciboleger desa ini adalah tempat terakhir menggunakan mobil dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di desa ciboleger kami melihat warganya mulai dari anak kecil yang berjualan kayu untuk tongkat, sampai laki-laki dewasanya menjadi porter/pembawa barang  sedangkan para wanita dan ibu-ibunya hanya berjualan sembako atau souvenir. Awalnya kami yakin bisa membawa barang bawaan kami sendiri karena belum mengetahui medan yang akan kami tempuh,setelah mengetahui jalan menuju baduy luar itu begitu terjalnya karena menaiki dan menuruni bukit yang licin akibat hujan turun, tetapi belum ada ½ jam sudah kelelahan dan banyak dari kami yang menggunakan jasa porter itu dengan menego harganya dan kami rata-rata membayar Rp.10.000/tas.


Di sepanjang perjalanan kami menemui binatang dan tanaman yang jarang kami temui di Jakarta seperti lipan,pakis dan bungan kembang sepatu bewarna putih bercampur corak merah lalu kami juga bertemu dengan warga baduy sering kali yang terlihat adalah warga baduy luar tetapi ada juga yang berasal dari baduy dalam. Perbedaan mendasar antara baduy dalam dan baduy luar ialah dari pakaiannya dan letak wilayahnya, baduy luar menggunakan pagaian serba hitam-hitam dengan pengikat kepala berwarna biru dengan corak batik letak wilayahnya dari desa ciboleger – kampung kaduketuk – kampung Marengo – kampung gajeboh dan kampong cipaler. Sedangkan baduy dalam menggunakan baju berwarna serba putih-putih dan memakai ikat kepala putih juga letak wilayah baduy dalam Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.

Baduy dalam memiliki sistem adat yang sangat ketat dibandingkan dengan sistem adat di baduy luar misalnya saja barang-barang elektronik di larang bagi warga baduy dalam sedangakan baduy luar menerima moderenisasi yang berkembang. Di perjalanan kami melewati anak sungai 2 kali dan 1 perkampungan lalu kami sampai di kampung Marengo yaitu tempat untuk kami menginap. Sesampainya di kampong Marengo kami melihat perkampungan yang sangat sederhana dan tertata rapih serta bersih lingkungan yang kelilingi oleh pohon dan sumber kehidupan bagi masyarakat baduy yaitu sungai yang menlitasi sepanjang perkampungan suku baduy, iklim yang sejuk karena diapit oleh gunung dan bukit-bukit sepanjang mata memandang.
Setelah sampai kami pun bergegas masuk kerumah warga/ home stay untuk numpang menginap selama 3 hari 2 malam, melepas lelah kami pun duduk santai di atas serambi teras rumah suku baduy luar dan memerhatikan dengan seksama bangunan rumahnya. Rumah mereka berbentuk semi panggung walaupun tidak sama denga rumah panggu yang terdapat diwilayah sumatera. Mereka memilih bahan bangunan untuk rumah mereka yang berasal dari alam cecuali paku , mulai dari dinding dan alasnya berbahan dasar bambu yang di satukan atau di anyam lalu tiang-tiangnya atau pondasi mereka memilih memakai kayu pohon disekitar tanah mereka dan atapnya terbuat dari daun kelapa yang dianyam sehingga membetuk sebuah atap, rata-rata satu rumah berisi 5 orang yang terdiri dari bapak,ibu dan 3 orang anak pemilik rumah menyediakan tempat untuk kami beristirahat dan meletakan barang-barang kami.



Setelah merapihkan barang bawaan kami pun mencoba mandi disungai dan agak sedikit canggung dan bingung bangaimana caranya mandi di sungai seperti itu lalu kami memerhatiakan yang lainnya dan mengikutinya. Karena di daerah ini tidak ada fasiitas kamar mandi jadi seluruh aktifitas yang menggunakan air akan diambil atau digunakan sungai ini seperti mandi,mencuci,buang air besar/kecil dan menyiram tanaman. Malam pun tiba dan suasana semakin dingin,sunyi dan sepi serta gelap gulita karena di suku baduy tidak terdapat lampu penerangan mereka hanya mengandalkan lampu petromak dan senter kecil yang didapat di desa ciboleger. Dirumah itu terdapat beberapa bagian yaitu teras,ruang tamu,kamar tamu , kamar utama, dan dapur . dapur memiliki lahan yang cukup luas dibandingkan dengan ruang tamu ataupun kamarnya. Suku baduy sangat bergantung kepada alamnya karena itu mereka mendapatkan penghasilan atau uang dari berjualan hasil kebun mereka mulai dari pisang,padi,madudan tanaman kacang-kacangan lainnya serta mereka juga menjual kain yang sudah ditenun sendiri oleh masyarakat baduy dengan berbagai corak warna bahan yang didapat untuk menenun kain iyalah berasal dari desa ciboleger atau dari kota. Anak-anak mereka sedari kecil sudah membantu kedua orang tuanya
Bentuk bangunan rumah Baduy

 Sudah larut malam kami pun masih bercengkrama dengan teman-teman lainya tetapi pemilik rumah memanggil untuk masuk dan segera tidur agar tidak berisik dan menggagu tetangga lainnya, kami pun masuk dan bersiap untuk tidur dengan beralaskan sebuah tikar tipis dan bantal seadanya badan pun terasa sakit dan hawa dingin menusuk dari sela-sela bambu tetapi hawa ngantuk dan letih mengalahkan rasa sakit itu. Keesokan paginya kami bergegas untuk mengobservasi baduy luar sampai batas wilayah baduy dalam dan kampong tujuan kami adalah kampung cipaler, perjalanan kekampung cipaler sangat melelahkan dan 2 kali lipat lebih terjal dan licin serta jauh dibandingkan keberangkatan dari desa ciboleger menuju kampong Marengo. Melewati beberapa kampong dan 2 anak sungai lalu 1 jembatan sungai besar yang terbuat dari bambu, sepanjang perjalanan kami melihat hamparan lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam yang utamanya adalah padi mereka menanamnya diatas perbukitan yang kemiringannya hampir 80 derajat.Setelah dipanen padi dijemur agar kering tetapi tidak langsung di masak melainkan disimpan di tempat yang bernama “Leuit” atau lumbung padi untuk mempersiapkan bahan pokok nantinya bagi mereka.Mereka memasak dengan sangat sederhana hanya dengan menggunakan kayu bakar yang diambil dari hutan dan tungku sebagai penyangganya.

Sesampainya di kampung cipaler kami melihat tidak banyak berubah atau berda dengan yang ada dikampung Marengo,disana masyarakatnya lebih tertutup dan sama sekali tidak menegrti bahasa Indonesia kalau pun ingin bertanya harus dicampur dengan bahasa sunda dan baru mereka mengerti . sebenarnya mereka mengerti bahasa Indonesia atau mereka tahu apa yang kita ucapkan tetapi mereka tidak bisa membalas dengan bahasa Indonesia melainkan dengan bahasa sunda saja dan sifat mereka sangat pemalu dan tertutup , misalkan seorang ibu0ibu atau anak gadisnya sedang menenun dan kami ingin meminta fotonya tetapi mereka tidak memerbolehkannya begitu juga dengan anak-anak kecilnya hanya bisa tersenyum dan langsung masuk ke dalam rumah.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk kembali lagi ke Jakarta. Setelah kami sarapan kami bergegas pamit kepada yang punya rumah dan penduduk sekitar. Perjalanan pulang yang kami lewat sama dengan perjalan pergi, tapi kami berhenti dahulu di rest area untuk makan dan minum.


v  BAHASA
Dalam observasi kami, kami lebih fokus meneliti dan mengamati terhadap bahasanya yang kami lakukan adalah dengan mendekati dan mengajak mengobrol dengan orang-orang 2 kampung yang berbeda yaitu di kampong Marengo dan kampong cipaler, seperti berikut :
Pertanyaan:
1.      Bahasa yang di pakai oleh suku Baduy?
Jawab: Sunda Kasar dan Bahasa Indonesia, tapi tidak semua masyarakat bisa berbahasa Indonesia. Hanya orang-orang yang sering berinteraksi  dengan wisatawan yang bisa bahasa Indonesia. Di kampung Cipaler hampir semuanya tidak bisa bahasa Indonesia karena kampung tersebut agak jauh dari hirup pikuk wisatawan yang datang dan hampir dekat juga dengan Baduy dalam.   Contoh  saya dalam bahasa Sunda di Baduy adalah aing.
2.      Bahasa tulisan yang mereka gunakan?
Jawab: tulisan yang di tulis memakai bahasa Indonesia. mereka mempelajari tulisan itu melalui otodidak dari orang tua nya. Mengapa otodidak? Karena mereka tidak di perbolehkan sekolah.
3.      Bahasa tubuh yang mereka gunakan?
a.       Bila menjawab iya, gerak tubuh apa yang digerakan? Jawab: menganggukan kepala
b.      Bila menjawab tidak, gerak tubuh apa yang di gerakan? Jawab: menggelengkan kepala
Jawab: salah satu bahasa tubuh yang mereka gunakan yang pernah kami lihat yaitu ada seorang anak laki-laki menyuruh saudaranya mencuci piring dengan menggerakan kedua tangannya mengusap ke mukanya lalu menujuk kea rah ember yang berisi air.
4.      Juru bicara jika ada masalah?
Jawab: juru bicara jika ada masalah antar rumah atau tetangga, mereka langsung membicarakan nya oleh orang yang bersangkutan. Bila masalahnya besar langsung dibawa ke RT/jaro untuk di musyahwarakan.
5.      Obrolan yang sering mereka bicarakan jika sedang bertemu?
Jawab:  sering mereka bicarakan tentang kesehariannya seperti hasil panen yang mereka jual ke ciboleger.


 

Ini tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler. Ini tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler, dan terbukti bahwa di baduy jarang seklai yang bisa menulis dikarenakan warganya tidak ada yang bersekolah. Mereka dari kecil hanya diajarkan oleh kedua orang tua mereka cara bercocok tanam,membuat kain,dan membantu kedua orang tuanya. Bagi masyarakat baduy pendidikan formal itu berlawanan dengan adat mereka dan pemerintah pun ditolak untuk membangun sebuah sekolahan di daerah suku baduy.
v  Kesimpulan


Dari banyaknya pertanyaan diatas kami menyimpulkan bahwa suku Baduy dalam bahasa mereka masih banyak yang tidak bisa bahasa Indonesia. Kebanyakan mereka hanya bisa berbahasa Sunda tetapi bila kita berbahasa Indonesia mereka masih bisa mengerti. Salah satu contoh Homestay yang kami menginap ibu dari sebuah keluarga yang mempunyai homestay tersebut tidak bisa sama sekali bahasa Indonesia, tapi ibu tersebut mengerti apa yang kami tanyakan padanya dengan menggunakan bahasa Indonesia. tidak ibunya saja yang tidak mengerti bahasa Indonesia beberapa anaknya tidak mengerti  yang kita bicarakan , maka dari itu untuk mengerti berbahasa Indonesia dengan cara membeli belanjaan atau menjual hasil panen mereka hasilkan ke ciboleger, tidak dengan cara membeli dan menjual  saja mereka  dengan cara melihat dan mendengar wisatawanan yang ajak bicara . lalu dari situlah mereka pelan-pelan mengerti bahasa Indonesia.

No comments:

Post a Comment