Tuesday, May 21, 2013

GEOGRAFI DAN KESENIAN DI KAMPUNG MARENGO, BADUY



GEOGRAFI DAN KESENIAN DI KAMPUNG MARENGO, BADUY



Kampung Baduy, terutama kampung Marengo merupakan salah satu perkampungan yang terletak di Kota Banten, Jawa Barat. Kampung Marengo, Baduy adalah salah satu bagian dari etnik nusantara. Asal nama Baduy itu sendiri sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh warga Negara Belanda. Bahasa yang sering mereka gunakan dalam sehari-hari adalah bahasa Sunda. Masyarakat yang tinggal di kampung Marengo, Baduy merupakan masyarakat asli dari Baduy, tidak ada campur tangan dari orang luar. pada tanggal 5-7 April kami berkesempatan untuk melakukan sebuah observasi di kampung Marengo, Baduy. Perjalanan untuk menuju kampung Marengo tersebut memakan waktu yang cukup lama. Kami harus melewati kota Rangkasbitung, dan kemudian menuju desa Ciboleger sebelum akhirnya kami tiba dan menginap di kampung Marengo. Ketika kami tiba di desa Ciboleger, disini kami melihat adanya aktifitas modernisasi, di desa ini kita bisa melihat adanya sebuah supermarket, rental playstation, sekolahan, perpustakaan dan apapun yang seing kita lihat di kota besar. Dari desa Ciboleger ini kita harus naik menuju kampung kadeketuk sebelum akhirnya kami semua tiba di kampung Marengo. Karena medan perjalanan untuk menuju kampung Marengo itu sangat sulit dan licin kami membeli sebuah tongkat yang di jual oleh anak-anak sekitar, yang dimana tongkat tersebut digunakan untuk membantu kami semua yang akan naik ke atas menuju kampung-kampung yang ada di  Baduy.
Setelah kami membeli tongkat sebagai alat bantu, kami langsung menuju kekampung Marengo. Untuk sampai ke kampung Marengo, kami harus melewati beberapa bukit yang jalannya begitu licin dikarenakan bekas tujun hujan. Selama di perjalanan menuju kampung Marengo, ada beberapa warga yang menawarkan jasanya untuk membawakan tas-tas kami sampai kekampung Marengo. Penawaran jasa tersebut juga merupakan suatu aktifivas perdagangan yang berada di kampung Baduy. Akan tetapi, setelah kami menyelidikinya ternyata orang-orang yang bekerja menawarkan jasa tersebut bukanlah warga asli dari Baduy, mereka adalah warga yang datang untuk mencari rezeki dengan cara memanfaatkan kedatangan wisatawan, untuk membantu wisatawan membawakan tas-tas mereka sampai ke kampung tujuannya. Perjalanan kami lalui tidaklah mudah, selain licin jalanan ini juga sangat terjal dan banyak bebatuan. Akibatnya, banyak diantara kami yang mengalami jatuh ketika naik atau turun melewati bukit tersebut. Sekitar 2 jam kami menempuh perjalanan ini, dan akhirnya kami sampai di kampung Marengo.
Di kampung Marengo jumlah penduduk yang tinggal kurang lebih sekitar 200 penduduk. Asal muasal adanya kampung Marengo sendiri adalah pecahan dari kampung Gazebo. Setelah tiba di kampung Marengo kemudian kami menuju rumah penduduk untuk tinggal selama 3 hari. Uniknya rumah tersebut terbuat dari bambu-bambu dan daun-daunan kering yang dibentuk seperti rumah panggung. Akan tetapi pemilik dari rumah yang akan kami singgahi tidak sedang ada di rumah. Keluarga pemilik rumah sedang berada di ladang. Sehingga, kami meninggalkan tas dan barang bawaan kami di teras rumah. Lalu kami bersiap-siap untuk mandi. Seperti warga desa Marengo, kami mandi di sungai dengan sehelai kain untuk menutupi kami mandi. Alam terbuka membuat kami merasakan suasana baru ketika berada di sungai yang melewati kampung Marengo. Dengan malu-malu kami mandi secara bersama-sama di sungai. Duduk diantara bebatuan.
Setelah selesai kami mandi, ternyata pemilik rumah sudah pulang. Segeralah kami memasuki rumah yang terbuat dari pepohonan, dengan lantai dari bambu-bambu dan atap yang terbuat dari dedaunan kering. Kami berkenalan dengan pemilik rumah tersebut. Bapak Amin namanya beliau adalah kepala keluarga di rumah ini. Beliau tinggal di rumah ini hanya bertiga, yaitu Bapak Amin, istri dan anak laki-lakinya. Hal yang paling terasa suasananya ketika kami melihat handphone kami yang ternyata tidak bersignal. Hal tersebut membuat kami merasakan kehidupan warga desa Marengo setiap harinya.
Malam pun tiba. Suasana menjadi semakin asing ketika kami harus berhadapan dengan kemalaman tanpa lampu penerangan. Akhirnya kami pun memanfaatkan lampu senter yang kami bawa. Seisi rumah pak Amin pun terlihat sangat remang-remang. Bentuk rumah pak Amin cukup luas. Dengan 1 buah ruang tamu, ruang penyimpanan hasil panen, 1 ruang tidur yang bersampingan dengan dapur di belakang. Ruang tamu pun menjadi tempat tidur kami, dengan beralaskan potongan bambu yang disusun renggang.
Keesokan harinya kami bergegas mandi lagi di sungai dan lalu bersiap-siap untuk naik lagi ke atas menuju desa Cipaler, desa yang merupakan perbatasan antara baduy luar dan baduy dalam. Dalam perjalanan menuju desa Cipaler kami menemukan beberapa tanaman-tanaman yang merupakan hasil kerja warga baduy. Kami menemukan pohon pisang yang memang pada saat itu sedang panen. Kemudian pohon rambutan, pohon kokosan yang buahnya mirip sekali dengan buah duku, pohon kopi, padi, dan yang tidak asing adalah pohon bambu. Selain tanaman yang kami temukan, kami juga menemukan fauna yang berada di baduy. Fauna di baduy tidak asing lagi, yaitu ada ayam, kucing, ulat bulu, ulat kaki seribu, burung, kupu-kupu dan lebah.
Ketika kami menyusuri jalan menuju desa Cipaler kami melewati beberapa desa. Kami melihat banyak warga baduy khususnya wanita yang sedang menenun kain. Memang kehidupan warga di sini, mereka merajut sendiri kain yang akan mereka gunakan. Sejak dini mungkin anak-anak perempuannya sudah diajarkan menenun kain untuk mereka gunakan. Setelah itu kami melewati hutan yang kemudian kami menemukan beberapa tumpukan batang-batang pohon yang telah di tebang. Kemudian kami bertanya kepada penduduk setempat, untuk apa batang-batang pohon tersebut. Ternyata batang-batang pohon yang ditebang tersebut mereka gunakan untuk menjadi bahan bakar memasak. Akan tetapi setelah kita mengetahuinya, batang-batang pohon tersebut bukanlah warga asli baduy yang menebangnya, melainkan orang dari luar baduy yang memang sengaja mereka tebang untuk kebutuhan mereka.
Lalu kami menyeberangi sungai dengan menggunakan jembatan yang terbuat dari potongan bambu-bambu yang diikat-ikat menjadi sebuah jembatan ketika kami melintasi jembatan tersebut akan terasa goyang. Jembatan tersebut benar-benar berdiri di atas sungai yang mengalir deras membuat kami harus berhati-hati melewtinya agar tidak jatuh ke sungai. Lalu kami melintasi sebuah bangunan yang unik. Yang awalnya kami kira adalah sebuah kandang. Ternyata bangunan seperti rumah kecil tersebut adalah tempat penyimpanan padi yang telah panen yang mereka sebut adalah “Leuit”. Dan kami juga menemukan padi-padi yang telah panen digantung dan dijemur.
Sesampainya di desa Cipaler yang menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 3 jam. Kami beristirahat disalah satu rumah warga desa Cipaler sebelum kami memulai aktifitas lainnya. Setelah cukup merasa segar kembali, kami pun segera mengunjungi salah satu rumah yang berada di desa Cipaler. Rumah yang kami kunjungi adalah rumah Bapak Daris. Pak Dari tinggal di rumah tersebut dengan istri dan kedua anaknya, yang satu laki-laki dan satu perempuan. Ketika kami masuk ke rumah pak Daris yang terdiri dari satu ruang tamu, ruang kamar dan dapur, kami melihat ada yang unik di dalam rumah pak Daris. Ada beberapa botol yang membuat kami penasaran apa isi dari botol tersebut. Ternyata itu adalah sebuah madu asli yang mereka ambil langsung dari sarang lebah. Lalu di belakang kami ada sebuah tumpukan karung yang isinya merupakan padi yang telah panen yang akan mereka tumbuk dan mereka konsumsi sendiri. Kemudian kami melihat sebuah benda yang terbuat dari kayu yang berbenutuk roda dan ternyata itu adalah alat untuk membuat sebuah kerajinan tangan seperti kalung dan gelang.

Setelah kami berkenalan dan melihat-lihat isi rumah, kamipun memberanikan diri untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan kepada bapak Daris. Salah satu yang kami pertanyakan adalah mengenai geografis yang terjadi di daerah kampung Baduy. Kami menanyakan apakah di daerah Baduy sering terjadi bencana alam, misalnya seperti tanah longsor, banjir bandang dan fenomenal alam lainnya. Dan pak Daris pun menjawab bahwa akhir-akhir ini didaerah kampung Baduy sering terjadi tanah longsor dikarenakan oleh musim penghujan yang saat ini sedang terjadi di daerah kampung Baduy. Pertanyaan kedua yang kami tanyakan adalah mengenenai kesenian khas yang ada di suku baduy, lalu kemudian pak Daris pun menjawab kesenian angklung dan tanjakan keromong. Beliau berkata setiaptahun pada pembukaan tanam padi atau nanam pare selalu menampilkan pentas kesenian angklung. Bapak Darispun juga menjelaskan pakain adat yang di kenakan oleh orang baduy, yang terdiri dari hideng, iket, lomar (kain ikat kepala). Kami juga sempat menanyakan mengenai upacara adat yang sering dilakukan oleh penduduk-penduduk Baduy, dan pak Darispun menjawab dengan ramah kalau di baduy sering diaadakan upacara nanem pare, kawinan, sunatan, selamatan untuk seorang ibu yang telah melahirkan anaknya dengan selamat. Tetapi selama masa kehamilan tidak ada upacara empat bulanan maupun nujuh bulanan. Pertanyaan terakhir kami yang membuat kami bertanya-tanya adalah, mengapa anak-anak baduy tidak bersekolah, dan bapak Daris menjawab dengan logat sundanya karena sesuai peraturan adat bahwa anak-anak di kampung baduy ini di larang bersekolah seperti pepatah mengatakan “lajor ulah dipante, pondok ulah disambung” yang artinya “kalau panjang jangan dipotong, kalau pendek jangan disambung. Yang maksudnya adalah mereka semua harus hidup dengan apa adanya tanpa harus di ubah ataupun dilebih-lebihkan.
(foto kami bersama bapak Daris sebagai narasumber kami)                 

Setelah kami bertanya-tanya dengan pak Daris yang merupakan warga desa Cipaler, kami pun segera kembali ke desa Marengo. Ketika turun kami tidak melewati jalan yang kami tempuh ketika kami menuju desa Cipaler. Perjalanan pulang kami sering melewati rumah-rumah penduduk yang jalanannya terbuat dari bebatuan. Lalu kami pun melewati jembatan yang terbuat dari bambu lagi, dan kami juga melewati beberapa leuit lagi, sampai akhirnya kami tiba di desa Marengo. Perjalanan pulang yang kami tempuh sekitar 3 jam.
Sore harinya, kami berkumpul dengan wakil jaro di desa Marengo yaitu Bapak Sarman. Kami bertanya-tanya sekitar baduy. Ternyata letak geografis kampong baduy sebelah selatan ada desa Balimbing, sebelah timur desa Gajeboh, sebelah utara desa Wetan, dan sebelah barat desa Sikunyah. Ternyata hampir semua tanah yang mereka gunakan untuk ladang merupakan bekas kuburan warga baduy yang meninggal. Tanah bekas kuburan tersebut untuk warga baduy sendiri diperbolehkan dibuat ladang tetapi tidak boleh untuk dibangun sebuah rumah. Kehidupan pekerjaan orang-orang baduy adalah bertani. Mereka menggunakan parang yang memang biasanya digunakan oleh para petani. Tanaman yang mereka tanam yaitu padi, jahe, pisang, kopi, rambutan, kokosan, dan sakojah, yang kemudian biasanya hasil panen tersebut mereka jual atau bisa mereka konsumsikan sendiri untuk kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, biasanya orang baduy hanya menggunakan ladang tersebut selama 3 tahun, setelah 3 tahun ladang tersebut dibiarkan dan kemudian berubah menjadi hutan.
Untuk anak-anak yang tinggal di baduy, mereka tidak bersekolah secara formal. Mereka bersekolah dengan keluarga mereka sendiri seperti mereka bertani dan menenun. Untuk hal baca dan tulis hanya sebagian warga baduy saja yang bisa. Hal tersebut mungkin karena sudah turun temurun dari keluarganya. Daya tangkap mereka lebih cepat menangkap gambar dan gerak dari pada tulisan. Penduduk baduy sudah terbiasa untuk tinggal tidak menggunakan listrik. Ketika malah hari mereka akan menggunakan lampu pijar untuk menerangkan rumah mereka dan untuk mereka berjalan pada malam hari. Mereka memang dengan sengaja menghindari adanya listrik di lingkungan mereka, karena mereka beranggapan dengan adanya listrik membuat hilangnya kebudayaan daerah baduy dan hilangnya kearifan lokal yang sudah mereka tanam bertahun-tahun. Jadi memang mereka lebih mementingkan budaya tradisional yang memang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Selain itu, karakter alam juga yang telah membuat mereka seperti ini. Kehidupan penduduk baduy selain bertani dan menenun, kegiatan yang memang sudah menjadi kebiasaan mereka adalah bergotong royong. Ketika ada yang ingin membangun rumah baru, maka dengan sigap mereka akan membantu pembangunan tersebut dengan sukarela. Orang-orang baduy merupakan tipe orang pekerja, mereka lebih banyak bekerja dari pada berbicara. Etika terbentuk karena kebudayaan yang sudah ada.
Banyak yang mengira bahwa baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, ternyata baduy menganut kepercayaan Selam Wiwitan. Di baduy sendiri biasanya ketika ada acara-acara tertentu dilarang ada orang asing atau orang yang berada di luar baduy masuk ke dalam baduy. Karena memang sangat pribadi. Untuk acara-acara seperti sunatan, biasanya untuk makan-makanan mereka menghidangkan ikan, dan ikan tersebut harus merka ambil langsung dari sungai bukan ikan yang biasanya dibeli lalu hanya tinggal dimasak saja. Kemudian dalam acara tersebut ada kegiatan dimana keluarga sang anak yang akan disunat harus meneteskan air ke mata anak tersebut yang kemudian mereka sebut dengan “merehan”. Orang yang melakukan sunatan tersebut adalah bengkong. Pada acara keagamaan untuk orang-orang yang belum disunat dilarang melakukan ritual, karena mereka menganggap bahwa itu belum sempurna. Biasanya sunatan di sini dilakukan missal kurang lebih 15 orang dalam setiap sunatan. Adapun acara sunatan untuk anak perempuan disebut peperan.
Selain itu, untuk acara perkawinan biasanya orang-orang baduy ada yang dijodohkan dan ada juga yang memang keinginan dari kedua belah pihak. Sebelum acara pelamaran biasanya calon pelamar menyimpan sirih selama 3 hari 3 malam dan kemudian dibuka ketika akan melamar lalu di makan. Acara lamarannya pun terdiri dari makan-makan, tata cara, adat istiadat, lalu makan sirih yang telah disimpan. Setelah itu diadakan pertemuan orang tua dari kedua belah pihak. Lalu orang tua kedua belah pihak mendatangi paranormal (tangkesan) untuk menentukan waktu yang tepat mereka akan menikah. Kemudian pada acara pernikahan sebelum penghulu (Cikagagirang) datang, mereka membaca syahadat. Untuk kepercayaan pada ibu-ibu yang sedang hamil, biasanya pada kehamilan 1 bulan mereka membuatkan gelang yang terbuat dari kafan yang mereka sebut dengan “kanteh” yang kemudian gelang tersebut diberi mantra, hal itu mereka lakukan untuk keselamatan ibu dan anak yang sedang dikandung. Ketika kehamilan menginjak 7 bulan, mereka membuat kendit (seperti ikat pinggang) yang mereka pakai di pinggang. Ketika anak tersebut lahir, mereka langsung memberikan tetesan yang memang sudah menjadi tradisi di baduy selama 1 tahun. Hukum perceraian di baduy sendiri sebenarnya tidak diperbolehkan. Ketika sebuah keluarga ingin bercerai, maka mereka akan disidang dan dibicarakan terlebih dahulu agar tidak terjadinya sebuah perceraian.
Mengapa adanya pengelompokan baduy dalam dan baduy luar ? Sebenarnya, pada tahun 1570 hanya ada satu perkampungan baduy. Seiring dengan pertumbuhan yang ada, lalu terbagi menjadi 3 perkampungan yaitu Cibeo, Ciketawarna dan Cikeusik. Adanya sebutan untuk baduy luar dikarenakan banyak penduduk asli baduy yang melanggar-melanggar aturan. Mereka yang melanggar aturan biasanya diasingkan selama 40 hari disebuah tempat pengasingan di desa Cibeo. Selama mereka diasingkan mereka tidak boleh dilihat oleh siapapun dan tidak boleh disentuh. Karena banyaknya aturan-aturan maka ada beberapa warga baduy yang keluar dari 3 desa tersebut dan kemudian membentuk desa sendiri, dan mereka menyebutnya baduy luar.
Acara agama resmi orang baduy adalah kawalu. Biasanya ketika kawalu, orang-orang yang bukan warga baduy dilarang masuk ke 3 desa di baduy dalam. Di baduy ada istilah Jaro dan Puun. Jaro sendiri adalah orang yang dipertimbangkan dan dipilih karena memiliki kemampuan lebih dari pada warga lainnya. Sedangkan Puun sendiri merupakan turun temurun dari keluarga. Jadi tidak sembarang orang yang menjadi puun. Warga baduy mempercayai 3 keyakinan yaitu Adam, Muhammad dan Pancasila. Yang membedakan baduy dalam dan baduy luar bisa diihat dari pakaian yang mereka gunakan. Untuk baduy dalam sendiri mereka menggunakan pakaian serba putih dengan ciri khas ikat kepala berwarna putih dan membawa golok. Sedangkan untuk baduy luar mereka menggunakan pakaian berwarna hitam dan menggunakan ikat kepala berwarna biru hitam. Mata uang di baduy adalah emas. Jadi emas itu adalah sebagai standar infestasi mereka.
Itulah hasil dari tanya jawab kami pada Pak Sarman sebagai wakil Jaro. Keesokannya kami pulang melewati jalur yang sama ketika kami menuju desa Marengo. Begitulah hasil survey kami selama 3 hari 2 malam di kampung Baduy desa Marengo pada tanggal 5-7 April 2013.



Nama Kelompok :
  • Anisa Dwi Habsari
  • Nawang Saputi Tandayu
  • Nuansa Rivaldi
  • Nurul Yuliana
  • Okke Dwi Putri
  • Putri Ayu Fitriyani

No comments:

Post a Comment