WISATA
KE KENEKES
Anggita
Putri Ulfa, Nisya Tiara Yunita, Rizki Annisa, Trinia Fauziah, dan Wynnona Geary
P.
Pada
tanggal 2 april lalu tepatnya hari jumat jam 08:00 pagi kami mahasiswa dari
Universitas Negeri Jakarta, prodi/jurusan Pariwisata mengadakan perjalanan
wisata ke suku Baduy yang terletak di rangkasbitung banten untuk melakukan
observasi dan juga sebagai tugas dari dosen. Kami menggunakan alat transportasi
tronton milik TNI AD dengan rute Jakarta/Unj – tol kebon jeruk – tanggerang –
tol cikupa – tol balaraja – rangkasbitung (banten).
Sesampainya
kami di baduy tepatnya di desa ciboleger desa ini adalah tempat terakhir
menggunakan mobil dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di desa ciboleger kami
melihat warganya mulai dari anak kecil yang berjualan kayu untuk tongkat,
sampai laki-laki dewasanya menjadi porter/pembawa barang sedangkan para wanita dan ibu-ibunya hanya
berjualan sembako atau souvenir. Awalnya kami yakin bisa membawa barang bawaan
kami sendiri karena belum mengetahui medan yang akan kami tempuh,setelah
mengetahui jalan menuju baduy luar itu begitu terjalnya karena menaiki dan
menuruni bukit yang licin akibat hujan turun, tetapi belum ada ½ jam sudah
kelelahan dan banyak dari kami yang menggunakan jasa porter itu dengan menego
harganya dan kami rata-rata membayar Rp.10.000/tas.

Di
sepanjang perjalanan kami menemui binatang dan tanaman yang jarang kami temui
di Jakarta seperti lipan,pakis dan bungan kembang sepatu bewarna putih
bercampur corak merah lalu kami juga bertemu dengan warga baduy sering kali
yang terlihat adalah warga baduy luar tetapi ada juga yang berasal dari baduy
dalam. Perbedaan mendasar antara baduy dalam dan baduy luar ialah dari
pakaiannya dan letak wilayahnya, baduy luar menggunakan pagaian serba
hitam-hitam dengan pengikat kepala berwarna biru dengan corak batik letak
wilayahnya dari desa ciboleger – kampung kaduketuk – kampung Marengo – kampung gajeboh
dan kampong cipaler. Sedangkan baduy dalam menggunakan baju berwarna serba
putih-putih dan memakai ikat kepala putih juga letak wilayah baduy dalam Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik.
Baduy
dalam memiliki sistem adat yang sangat ketat dibandingkan dengan sistem adat di
baduy luar misalnya saja barang-barang elektronik di larang bagi warga baduy
dalam sedangakan baduy luar menerima moderenisasi yang berkembang. Di
perjalanan kami melewati anak sungai 2 kali dan 1 perkampungan lalu kami sampai
di kampung Marengo yaitu tempat untuk kami menginap. Sesampainya di kampong
Marengo kami melihat perkampungan yang sangat sederhana dan tertata rapih serta
bersih lingkungan yang kelilingi oleh pohon dan sumber kehidupan bagi
masyarakat baduy yaitu sungai yang menlitasi sepanjang perkampungan suku baduy,
iklim yang sejuk karena diapit oleh gunung dan bukit-bukit sepanjang mata
memandang.
Setelah
sampai kami pun bergegas masuk kerumah warga/ home stay untuk numpang menginap
selama 3 hari 2 malam, melepas lelah kami pun duduk santai di atas serambi
teras rumah suku baduy luar dan memerhatikan dengan seksama bangunan rumahnya.
Rumah mereka berbentuk semi panggung walaupun tidak sama denga rumah panggu
yang terdapat diwilayah sumatera. Mereka memilih bahan bangunan untuk rumah
mereka yang berasal dari alam cecuali paku , mulai dari dinding dan alasnya
berbahan dasar bambu yang di satukan atau di anyam lalu tiang-tiangnya atau
pondasi mereka memilih memakai kayu pohon disekitar tanah mereka dan atapnya
terbuat dari daun kelapa yang dianyam sehingga membetuk sebuah atap, rata-rata
satu rumah berisi 5 orang yang terdiri dari bapak,ibu dan 3 orang anak pemilik
rumah menyediakan tempat untuk kami beristirahat dan meletakan barang-barang
kami.
Setelah
merapihkan barang bawaan kami pun mencoba mandi disungai dan agak sedikit
canggung dan bingung bangaimana caranya mandi di sungai seperti itu lalu kami
memerhatiakan yang lainnya dan mengikutinya. Karena di daerah ini tidak ada
fasiitas kamar mandi jadi seluruh aktifitas yang menggunakan air akan diambil
atau digunakan sungai ini seperti mandi,mencuci,buang air besar/kecil dan
menyiram tanaman. Malam pun tiba dan suasana semakin dingin,sunyi dan sepi
serta gelap gulita karena di suku baduy tidak terdapat lampu penerangan mereka
hanya mengandalkan lampu petromak dan senter kecil yang didapat di desa
ciboleger. Dirumah itu terdapat beberapa bagian yaitu teras,ruang tamu,kamar tamu
, kamar utama, dan dapur . dapur memiliki lahan yang cukup luas dibandingkan
dengan ruang tamu ataupun kamarnya. Suku baduy sangat bergantung kepada alamnya
karena itu mereka mendapatkan penghasilan atau uang dari berjualan hasil kebun
mereka mulai dari pisang,padi,madudan tanaman kacang-kacangan lainnya serta
mereka juga menjual kain yang sudah ditenun sendiri oleh masyarakat baduy
dengan berbagai corak warna bahan yang didapat untuk menenun kain iyalah
berasal dari desa ciboleger atau dari kota. Anak-anak mereka sedari kecil sudah
membantu kedua orang tuanya

Bentuk bangunan rumah Baduy
Sudah larut malam kami pun masih bercengkrama
dengan teman-teman lainya tetapi pemilik rumah memanggil untuk masuk dan segera
tidur agar tidak berisik dan menggagu tetangga lainnya, kami pun masuk dan
bersiap untuk tidur dengan beralaskan sebuah tikar tipis dan bantal seadanya
badan pun terasa sakit dan hawa dingin menusuk dari sela-sela bambu tetapi hawa
ngantuk dan letih mengalahkan rasa sakit itu. Keesokan paginya kami bergegas
untuk mengobservasi baduy luar sampai batas wilayah baduy dalam dan kampong
tujuan kami adalah kampung cipaler, perjalanan kekampung cipaler sangat
melelahkan dan 2 kali lipat lebih terjal dan licin serta jauh dibandingkan
keberangkatan dari desa ciboleger menuju kampong Marengo. Melewati beberapa
kampong dan 2 anak sungai lalu 1 jembatan sungai besar yang terbuat dari bambu,
sepanjang perjalanan kami melihat hamparan lahan yang dijadikan untuk bercocok
tanam yang utamanya adalah padi mereka menanamnya diatas perbukitan yang kemiringannya
hampir 80 derajat.Setelah dipanen padi dijemur agar kering tetapi tidak
langsung di masak melainkan disimpan di tempat yang bernama “Leuit” atau
lumbung padi untuk mempersiapkan bahan pokok nantinya bagi mereka.Mereka
memasak dengan sangat sederhana hanya dengan menggunakan kayu bakar yang
diambil dari hutan dan tungku sebagai penyangganya.
Sesampainya
di kampung cipaler kami melihat tidak banyak berubah atau berda dengan yang ada
dikampung Marengo,disana masyarakatnya lebih tertutup dan sama sekali tidak
menegrti bahasa Indonesia kalau pun ingin bertanya harus dicampur dengan bahasa
sunda dan baru mereka mengerti . sebenarnya mereka mengerti bahasa Indonesia
atau mereka tahu apa yang kita ucapkan tetapi mereka tidak bisa membalas dengan
bahasa Indonesia melainkan dengan bahasa sunda saja dan sifat mereka sangat
pemalu dan tertutup , misalkan seorang ibu0ibu atau anak gadisnya sedang
menenun dan kami ingin meminta fotonya tetapi mereka tidak memerbolehkannya
begitu juga dengan anak-anak kecilnya hanya bisa tersenyum dan langsung masuk
ke dalam rumah.
Keesokan
harinya, kami bersiap-siap untuk kembali lagi ke Jakarta. Setelah kami sarapan kami
bergegas pamit kepada yang punya rumah dan penduduk sekitar. Perjalanan pulang
yang kami lewat sama dengan perjalan pergi, tapi kami berhenti dahulu di rest
area untuk makan dan minum.
v BAHASA
Dalam observasi kami,
kami lebih fokus meneliti dan mengamati terhadap bahasanya yang kami lakukan
adalah dengan mendekati dan mengajak mengobrol dengan orang-orang 2 kampung
yang berbeda yaitu di kampong Marengo dan kampong cipaler, seperti berikut :
Pertanyaan:
1.
Bahasa yang di pakai oleh suku Baduy?
Jawab:
Sunda Kasar dan Bahasa Indonesia, tapi tidak semua masyarakat bisa berbahasa
Indonesia. Hanya orang-orang yang sering berinteraksi dengan wisatawan yang bisa bahasa Indonesia.
Di kampung Cipaler hampir semuanya tidak bisa bahasa Indonesia karena kampung
tersebut agak jauh dari hirup pikuk wisatawan yang datang dan hampir dekat juga
dengan Baduy dalam. Contoh saya dalam bahasa Sunda di Baduy adalah aing.
2.
Bahasa tulisan yang mereka gunakan?
Jawab:
tulisan yang di tulis memakai bahasa Indonesia. mereka mempelajari tulisan itu
melalui otodidak dari orang tua nya. Mengapa otodidak? Karena mereka tidak di
perbolehkan sekolah.
3.
Bahasa tubuh yang mereka gunakan?
a. Bila
menjawab iya, gerak tubuh apa yang digerakan? Jawab: menganggukan kepala
b. Bila
menjawab tidak, gerak tubuh apa yang di gerakan? Jawab: menggelengkan kepala
Jawab:
salah satu bahasa tubuh yang mereka gunakan yang pernah kami lihat yaitu ada
seorang anak laki-laki menyuruh saudaranya mencuci piring dengan menggerakan
kedua tangannya mengusap ke mukanya lalu menujuk kea rah ember yang berisi air.
4.
Juru bicara jika ada masalah?
Jawab:
juru bicara jika ada masalah antar rumah atau tetangga, mereka langsung
membicarakan nya oleh orang yang bersangkutan. Bila masalahnya besar langsung
dibawa ke RT/jaro untuk di musyahwarakan.
5.
Obrolan yang sering mereka bicarakan
jika sedang bertemu?
Jawab: sering mereka bicarakan tentang kesehariannya
seperti hasil panen yang mereka jual ke ciboleger.
Ini
tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler. Ini
tulisan yang terdapat di pintu dari salah satu rumah di kampung Cipaler, dan
terbukti bahwa di baduy jarang seklai yang bisa menulis dikarenakan warganya
tidak ada yang bersekolah. Mereka dari kecil hanya diajarkan oleh kedua orang
tua mereka cara bercocok tanam,membuat kain,dan membantu kedua orang tuanya.
Bagi masyarakat baduy pendidikan formal itu berlawanan dengan adat mereka dan
pemerintah pun ditolak untuk membangun sebuah sekolahan di daerah suku baduy.
v Kesimpulan
Dari
banyaknya pertanyaan diatas kami menyimpulkan bahwa suku Baduy dalam bahasa
mereka masih banyak yang tidak bisa bahasa Indonesia. Kebanyakan mereka hanya
bisa berbahasa Sunda tetapi bila kita berbahasa Indonesia mereka masih bisa
mengerti. Salah satu contoh Homestay yang kami menginap ibu dari sebuah
keluarga yang mempunyai homestay tersebut tidak bisa sama sekali bahasa
Indonesia, tapi ibu tersebut mengerti apa yang kami tanyakan padanya dengan
menggunakan bahasa Indonesia. tidak ibunya saja yang tidak mengerti bahasa
Indonesia beberapa anaknya tidak mengerti
yang kita bicarakan , maka dari itu untuk mengerti berbahasa Indonesia
dengan cara membeli belanjaan atau menjual hasil panen mereka hasilkan ke
ciboleger, tidak dengan cara membeli dan menjual saja mereka
dengan cara melihat dan mendengar wisatawanan yang ajak bicara . lalu
dari situlah mereka pelan-pelan mengerti bahasa Indonesia.