GEOGRAFI DAN KESENIAN DI KAMPUNG MARENGO, BADUY
Kampung Baduy,
terutama kampung Marengo merupakan salah satu perkampungan yang
terletak di Kota Banten, Jawa Barat. Kampung
Marengo, Baduy adalah salah satu bagian dari etnik
nusantara. Asal nama
Baduy itu sendiri sebenarnya
adalah nama yang diberikan oleh warga Negara Belanda. Bahasa yang sering mereka gunakan dalam sehari-hari
adalah bahasa Sunda. Masyarakat yang tinggal di kampung Marengo, Baduy merupakan masyarakat
asli dari Baduy, tidak ada campur tangan dari orang luar. pada tanggal 5-7
April kami berkesempatan untuk melakukan sebuah observasi di kampung Marengo,
Baduy. Perjalanan untuk menuju kampung Marengo tersebut memakan waktu yang
cukup lama. Kami harus melewati kota Rangkasbitung, dan kemudian menuju desa
Ciboleger sebelum akhirnya kami tiba dan menginap di kampung Marengo. Ketika
kami tiba di desa Ciboleger, disini kami melihat adanya
aktifitas modernisasi, di desa ini kita
bisa melihat adanya sebuah supermarket, rental playstation, sekolahan,
perpustakaan dan apapun yang seing kita lihat di kota besar.
Dari desa Ciboleger ini kita harus naik menuju kampung kadeketuk
sebelum akhirnya kami semua tiba di kampung Marengo. Karena medan perjalanan
untuk menuju kampung Marengo itu sangat sulit dan licin kami membeli sebuah
tongkat yang di jual oleh anak-anak sekitar, yang dimana
tongkat tersebut digunakan untuk membantu kami
semua yang akan naik ke atas menuju kampung-kampung yang ada di Baduy.
Setelah kami membeli tongkat sebagai alat bantu, kami langsung
menuju kekampung Marengo.
Untuk sampai ke kampung
Marengo, kami harus melewati beberapa bukit yang jalannya begitu licin dikarenakan bekas tujun hujan.
Selama di perjalanan menuju kampung Marengo,
ada beberapa warga yang menawarkan
jasanya untuk membawakan tas-tas kami sampai
kekampung Marengo. Penawaran jasa
tersebut juga merupakan suatu aktifivas perdagangan yang berada di kampung Baduy. Akan tetapi,
setelah kami menyelidikinya
ternyata orang-orang yang bekerja menawarkan jasa tersebut bukanlah warga asli
dari Baduy, mereka adalah warga yang datang untuk mencari rezeki dengan cara
memanfaatkan kedatangan wisatawan,
untuk membantu wisatawan membawakan tas-tas mereka sampai ke kampung tujuannya. Perjalanan kami lalui tidaklah mudah, selain licin jalanan ini juga sangat terjal dan banyak
bebatuan. Akibatnya, banyak diantara kami yang
mengalami jatuh ketika naik atau turun melewati bukit tersebut. Sekitar 2 jam kami
menempuh perjalanan ini, dan
akhirnya kami sampai di kampung
Marengo.
Di kampung Marengo
jumlah penduduk yang tinggal kurang lebih sekitar 200 penduduk. Asal muasal adanya kampung
Marengo sendiri adalah pecahan dari kampung
Gazebo. Setelah tiba di kampung Marengo kemudian
kami menuju rumah penduduk untuk tinggal selama 3 hari. Uniknya rumah tersebut
terbuat dari bambu-bambu dan daun-daunan kering yang dibentuk seperti rumah
panggung. Akan tetapi pemilik dari rumah yang akan kami singgahi tidak sedang ada di
rumah. Keluarga pemilik rumah sedang berada di ladang. Sehingga, kami
meninggalkan tas dan barang bawaan kami di teras rumah. Lalu kami bersiap-siap
untuk mandi. Seperti warga desa Marengo, kami mandi di sungai dengan sehelai
kain untuk menutupi kami mandi. Alam terbuka membuat kami merasakan suasana
baru ketika berada di sungai yang melewati kampung
Marengo. Dengan malu-malu kami mandi secara bersama-sama di sungai. Duduk
diantara bebatuan.
Setelah selesai
kami mandi, ternyata pemilik rumah sudah
pulang. Segeralah kami memasuki rumah yang terbuat dari pepohonan, dengan
lantai dari bambu-bambu dan atap yang terbuat dari dedaunan kering. Kami
berkenalan dengan pemilik rumah tersebut. Bapak Amin namanya beliau adalah kepala
keluarga di rumah ini.
Beliau tinggal di rumah ini
hanya bertiga, yaitu Bapak Amin, istri dan anak laki-lakinya. Hal yang paling
terasa suasananya ketika kami melihat handphone kami yang ternyata tidak
bersignal. Hal tersebut membuat kami merasakan kehidupan warga desa Marengo
setiap harinya.
Malam pun tiba. Suasana menjadi semakin asing ketika
kami harus berhadapan dengan kemalaman tanpa lampu penerangan. Akhirnya kami
pun memanfaatkan lampu senter yang kami bawa. Seisi rumah pak Amin pun terlihat
sangat remang-remang. Bentuk rumah pak Amin cukup luas. Dengan 1 buah ruang
tamu, ruang penyimpanan hasil panen, 1 ruang tidur yang bersampingan dengan
dapur di belakang. Ruang tamu pun menjadi tempat tidur kami, dengan beralaskan
potongan bambu yang disusun renggang.
Keesokan harinya kami bergegas mandi lagi di sungai
dan lalu bersiap-siap untuk naik lagi ke atas menuju desa Cipaler, desa yang
merupakan perbatasan antara baduy luar dan baduy dalam. Dalam perjalanan menuju
desa Cipaler kami menemukan beberapa tanaman-tanaman yang merupakan hasil kerja
warga baduy. Kami menemukan pohon pisang yang memang pada saat itu sedang
panen. Kemudian pohon rambutan, pohon kokosan yang buahnya mirip sekali dengan
buah duku, pohon kopi, padi, dan yang tidak asing adalah pohon bambu. Selain
tanaman yang kami temukan, kami juga menemukan fauna yang berada di baduy.
Fauna di baduy tidak asing lagi, yaitu ada ayam, kucing, ulat bulu, ulat kaki
seribu, burung, kupu-kupu
dan lebah.
Ketika kami menyusuri jalan menuju desa Cipaler kami
melewati beberapa desa. Kami melihat banyak warga baduy khususnya wanita yang
sedang menenun kain. Memang kehidupan warga di sini, mereka merajut sendiri
kain yang akan mereka gunakan. Sejak dini mungkin anak-anak perempuannya sudah
diajarkan menenun kain untuk mereka gunakan. Setelah itu kami melewati hutan
yang kemudian kami menemukan beberapa tumpukan batang-batang pohon yang telah
di tebang. Kemudian kami bertanya kepada penduduk setempat, untuk apa
batang-batang pohon tersebut. Ternyata batang-batang pohon yang ditebang
tersebut mereka gunakan untuk menjadi bahan bakar memasak. Akan tetapi setelah
kita mengetahuinya, batang-batang pohon tersebut bukanlah warga asli baduy yang
menebangnya, melainkan orang dari luar baduy yang memang sengaja mereka tebang
untuk kebutuhan mereka.
Lalu kami menyeberangi sungai dengan menggunakan
jembatan yang terbuat dari potongan bambu-bambu yang diikat-ikat menjadi
sebuah jembatan ketika kami melintasi jembatan tersebut akan
terasa goyang. Jembatan tersebut benar-benar berdiri di atas sungai yang
mengalir deras membuat kami harus berhati-hati melewtinya agar tidak jatuh ke sungai. Lalu
kami melintasi sebuah bangunan yang unik. Yang awalnya kami kira adalah sebuah
kandang. Ternyata bangunan seperti rumah kecil tersebut adalah tempat
penyimpanan padi yang telah panen yang mereka sebut adalah “Leuit”. Dan kami
juga menemukan padi-padi yang telah panen digantung dan dijemur.
Sesampainya di desa Cipaler yang menghabiskan waktu
kurang lebih sekitar 3 jam. Kami beristirahat disalah satu rumah warga desa
Cipaler sebelum kami memulai aktifitas lainnya. Setelah cukup merasa segar
kembali, kami pun segera mengunjungi salah satu rumah yang berada di desa
Cipaler. Rumah yang kami kunjungi adalah rumah Bapak Daris. Pak Dari tinggal di
rumah tersebut dengan istri dan kedua anaknya, yang satu laki-laki dan satu
perempuan. Ketika kami masuk ke rumah pak Daris yang terdiri dari satu ruang
tamu, ruang kamar dan dapur, kami melihat ada yang unik di dalam rumah pak
Daris. Ada beberapa botol yang membuat kami penasaran apa isi dari botol tersebut.
Ternyata itu adalah sebuah madu asli yang mereka ambil langsung dari sarang
lebah. Lalu di belakang kami ada sebuah tumpukan karung yang isinya merupakan
padi yang telah panen yang akan mereka tumbuk dan mereka konsumsi sendiri.
Kemudian kami melihat sebuah benda yang terbuat dari kayu yang berbenutuk roda
dan ternyata itu adalah alat untuk membuat sebuah kerajinan tangan seperti
kalung dan gelang.
Setelah kami berkenalan dan melihat-lihat isi rumah,
kamipun memberanikan diri untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang ingin kami
tanyakan kepada bapak Daris. Salah satu yang kami pertanyakan adalah mengenai
geografis yang terjadi di daerah kampung Baduy. Kami menanyakan apakah di
daerah Baduy sering terjadi bencana alam, misalnya seperti tanah longsor,
banjir bandang dan fenomenal alam lainnya. Dan pak Daris pun menjawab bahwa
akhir-akhir ini didaerah kampung Baduy sering terjadi tanah longsor dikarenakan
oleh musim penghujan yang saat ini sedang terjadi di daerah kampung Baduy.
Pertanyaan kedua yang kami tanyakan adalah mengenenai kesenian khas yang ada di
suku baduy, lalu kemudian pak Daris pun menjawab kesenian angklung dan tanjakan
keromong. Beliau berkata setiaptahun pada pembukaan tanam padi atau nanam pare
selalu menampilkan pentas kesenian angklung. Bapak Darispun juga menjelaskan
pakain adat yang di kenakan oleh orang baduy, yang terdiri dari hideng, iket,
lomar (kain ikat kepala). Kami juga sempat menanyakan mengenai upacara adat
yang sering dilakukan oleh penduduk-penduduk Baduy, dan pak Darispun menjawab
dengan ramah kalau di baduy sering diaadakan upacara nanem pare, kawinan,
sunatan, selamatan untuk seorang ibu yang telah melahirkan anaknya dengan
selamat. Tetapi selama masa kehamilan tidak ada upacara empat bulanan maupun
nujuh bulanan. Pertanyaan terakhir kami yang membuat kami bertanya-tanya
adalah, mengapa anak-anak baduy tidak bersekolah, dan bapak Daris menjawab
dengan logat sundanya karena sesuai peraturan adat bahwa anak-anak di kampung
baduy ini di larang bersekolah seperti pepatah mengatakan “lajor ulah dipante,
pondok ulah disambung” yang artinya “kalau panjang jangan dipotong, kalau
pendek jangan disambung. Yang maksudnya adalah mereka semua harus hidup dengan
apa adanya tanpa harus di ubah ataupun dilebih-lebihkan.
(foto kami bersama bapak Daris sebagai narasumber kami)
Setelah kami bertanya-tanya dengan pak Daris yang
merupakan warga desa Cipaler, kami pun segera kembali ke desa Marengo. Ketika
turun kami tidak melewati jalan yang kami tempuh ketika kami menuju desa
Cipaler. Perjalanan pulang kami sering melewati rumah-rumah penduduk yang
jalanannya terbuat dari bebatuan. Lalu kami pun melewati jembatan yang terbuat
dari bambu lagi, dan kami juga melewati beberapa leuit lagi, sampai akhirnya
kami tiba di desa Marengo. Perjalanan pulang yang kami tempuh sekitar 3 jam.
Sore harinya, kami berkumpul dengan wakil jaro di
desa Marengo yaitu Bapak Sarman. Kami bertanya-tanya sekitar baduy. Ternyata
letak geografis kampong baduy sebelah selatan ada desa Balimbing, sebelah timur
desa Gajeboh, sebelah utara desa Wetan, dan sebelah barat desa Sikunyah.
Ternyata hampir semua tanah yang mereka gunakan untuk ladang merupakan bekas
kuburan warga baduy yang meninggal. Tanah bekas kuburan tersebut untuk warga
baduy sendiri diperbolehkan dibuat ladang tetapi tidak boleh untuk dibangun
sebuah rumah. Kehidupan pekerjaan orang-orang baduy adalah bertani. Mereka
menggunakan parang yang memang biasanya digunakan oleh para petani. Tanaman
yang mereka tanam yaitu padi, jahe, pisang, kopi, rambutan, kokosan, dan
sakojah, yang kemudian biasanya hasil panen tersebut mereka jual atau bisa
mereka konsumsikan sendiri untuk kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, biasanya
orang baduy hanya menggunakan ladang tersebut selama 3 tahun, setelah 3 tahun
ladang tersebut dibiarkan dan kemudian berubah menjadi hutan.
Untuk anak-anak yang tinggal di baduy, mereka tidak
bersekolah secara formal. Mereka bersekolah dengan keluarga mereka sendiri
seperti mereka bertani dan menenun. Untuk hal baca dan tulis hanya sebagian
warga baduy saja yang bisa. Hal tersebut mungkin karena sudah turun temurun
dari keluarganya. Daya tangkap mereka lebih cepat menangkap gambar dan gerak
dari pada tulisan. Penduduk baduy sudah terbiasa untuk tinggal tidak
menggunakan listrik. Ketika malah hari mereka akan menggunakan lampu pijar
untuk menerangkan rumah mereka dan untuk mereka berjalan pada malam hari.
Mereka memang dengan sengaja menghindari adanya listrik di lingkungan mereka,
karena mereka beranggapan dengan adanya listrik membuat hilangnya kebudayaan
daerah baduy dan hilangnya kearifan lokal yang sudah mereka tanam bertahun-tahun.
Jadi memang mereka lebih mementingkan budaya tradisional yang memang sudah
diwariskan oleh leluhur mereka. Selain itu, karakter alam juga yang telah
membuat mereka seperti ini. Kehidupan penduduk baduy selain bertani dan
menenun, kegiatan yang memang sudah menjadi kebiasaan mereka adalah bergotong
royong. Ketika ada yang ingin membangun rumah baru, maka dengan sigap mereka
akan membantu pembangunan tersebut dengan sukarela. Orang-orang baduy merupakan
tipe orang pekerja, mereka lebih banyak bekerja dari pada berbicara. Etika
terbentuk karena kebudayaan yang sudah ada.
Banyak yang mengira bahwa baduy menganut kepercayaan
Sunda Wiwitan, ternyata baduy menganut kepercayaan Selam Wiwitan. Di baduy
sendiri biasanya ketika ada acara-acara tertentu dilarang ada orang asing atau
orang yang berada di luar baduy masuk ke dalam baduy. Karena memang sangat
pribadi. Untuk acara-acara seperti sunatan, biasanya untuk makan-makanan mereka
menghidangkan ikan, dan ikan tersebut harus merka ambil langsung dari sungai
bukan ikan yang biasanya dibeli lalu hanya tinggal dimasak saja. Kemudian dalam
acara tersebut ada kegiatan dimana keluarga sang anak yang akan disunat harus
meneteskan air ke mata anak tersebut yang kemudian mereka sebut dengan “merehan”.
Orang yang melakukan sunatan tersebut adalah bengkong. Pada acara keagamaan
untuk orang-orang yang belum disunat dilarang melakukan ritual, karena mereka
menganggap bahwa itu belum sempurna. Biasanya sunatan di sini dilakukan missal
kurang lebih 15 orang dalam setiap sunatan. Adapun acara sunatan untuk anak
perempuan disebut peperan.
Selain itu, untuk acara perkawinan biasanya
orang-orang baduy ada yang dijodohkan dan ada juga yang memang keinginan dari
kedua belah pihak. Sebelum acara pelamaran biasanya calon pelamar menyimpan
sirih selama 3 hari 3 malam dan kemudian dibuka ketika akan melamar lalu di
makan. Acara lamarannya pun terdiri dari makan-makan, tata cara, adat istiadat,
lalu makan sirih yang telah disimpan. Setelah itu diadakan pertemuan orang tua
dari kedua belah pihak. Lalu orang tua kedua belah pihak mendatangi paranormal
(tangkesan) untuk menentukan waktu yang tepat mereka akan menikah. Kemudian
pada acara pernikahan sebelum penghulu (Cikagagirang) datang, mereka membaca
syahadat. Untuk kepercayaan pada ibu-ibu yang sedang hamil, biasanya pada
kehamilan 1 bulan mereka membuatkan gelang yang terbuat dari kafan yang mereka
sebut dengan “kanteh” yang kemudian gelang tersebut diberi mantra, hal itu
mereka lakukan untuk keselamatan ibu dan anak yang sedang dikandung. Ketika
kehamilan menginjak 7 bulan, mereka membuat kendit (seperti ikat pinggang) yang
mereka pakai di pinggang. Ketika anak tersebut lahir, mereka langsung
memberikan tetesan yang memang sudah menjadi tradisi di baduy selama 1 tahun.
Hukum perceraian di baduy sendiri sebenarnya tidak diperbolehkan. Ketika sebuah
keluarga ingin bercerai, maka mereka akan disidang dan dibicarakan terlebih
dahulu agar tidak terjadinya sebuah perceraian.
Mengapa adanya pengelompokan baduy dalam dan baduy
luar ? Sebenarnya, pada tahun 1570 hanya ada satu perkampungan baduy. Seiring
dengan pertumbuhan yang ada, lalu terbagi menjadi 3 perkampungan yaitu Cibeo,
Ciketawarna dan Cikeusik. Adanya sebutan untuk baduy luar dikarenakan banyak
penduduk asli baduy yang melanggar-melanggar aturan. Mereka yang melanggar
aturan biasanya diasingkan selama 40 hari disebuah tempat pengasingan di desa
Cibeo. Selama mereka diasingkan mereka tidak boleh dilihat oleh siapapun dan
tidak boleh disentuh. Karena banyaknya aturan-aturan maka ada beberapa warga
baduy yang keluar dari 3 desa tersebut dan kemudian membentuk desa sendiri, dan
mereka menyebutnya baduy luar.
Acara agama resmi orang baduy adalah kawalu.
Biasanya ketika kawalu, orang-orang yang bukan warga baduy dilarang masuk ke 3
desa di baduy dalam. Di baduy ada istilah Jaro dan Puun. Jaro sendiri adalah
orang yang dipertimbangkan dan dipilih karena memiliki kemampuan lebih dari
pada warga lainnya. Sedangkan Puun sendiri merupakan turun temurun dari
keluarga. Jadi tidak sembarang orang yang menjadi puun. Warga baduy mempercayai
3 keyakinan yaitu Adam, Muhammad dan Pancasila. Yang membedakan baduy dalam dan
baduy luar bisa diihat dari pakaian yang mereka gunakan. Untuk baduy dalam
sendiri mereka menggunakan pakaian serba putih dengan ciri khas ikat kepala
berwarna putih dan membawa golok. Sedangkan untuk baduy luar mereka menggunakan
pakaian berwarna hitam dan menggunakan ikat kepala berwarna biru hitam. Mata
uang di baduy adalah emas. Jadi emas itu adalah sebagai standar infestasi
mereka.
Itulah hasil dari tanya jawab kami pada Pak Sarman
sebagai wakil Jaro. Keesokannya kami pulang melewati jalur yang sama ketika
kami menuju desa Marengo. Begitulah hasil survey kami selama 3 hari 2 malam di
kampung Baduy desa Marengo pada tanggal 5-7 April 2013.
Nama Kelompok :
- Anisa Dwi Habsari
- Nawang Saputi Tandayu
- Nuansa Rivaldi
- Nurul Yuliana
- Okke Dwi Putri
- Putri Ayu Fitriyani